Depok - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Djoko Santoso mengatakan, ciri khas dari perguruan tinggi memang terletak pada kesulitan yang ada di dalamnya, baik saat masuk, maupun saat melakukan penelitian dalam rangka pengabdian masyarakat dan penelitian untuk lulus.
"Banyak yang menilai pendidikan tinggi itu susah, justru itu cirinya. Kalau mudah itu namanya tempat bermain," kata Djoko, saat memberikan pidatonya sebagai Pjs Rektor Universitas Indonesia (UI) dalam acara Gelar Ilmu UI, di Balairung UI, Depok, Rabu (12/9/2012).
Dia menekankan, lembaga pendidikan tinggi tentu memiliki beda dengan lembaga pendidikan lain yang levelnya lebih rendah, yaitu pendidikan dasar atau menengah. Perbedaan yang paling menonjol, lanjutnya, adalah kewajiban melaksanakan Tri Dharma Dharma Perguruan Tinggi. Di dalamnya tak hanya terdapat proses pengajaran, tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat.
"Yang kita kelola itu lembaga pendidikan tinggi, tentu ada bedanya dengan sekolah karena harus melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat, tanpa itu maka namanya sekolah," ujarnya.
Hal ini dinyatakan oleh Djoko untuk menjawab keluhan sejumlah pihak mengenai kesulitan yang dialami pengelola perguruan tinggi. Pasalnya, Kemendikbud terus menggenjot budaya penelitian melalui kewajiban publikasi karya ilmiah di seluruh jenjang pendidikan tinggi, baik program S-1, S-2, maupun S-3.
Umumnya, perguruan tinggi menolak kebijakan itu karena tidak memiliki sarana untuk menampung jumlah karya ilmiah yang jumlahnya diprediksi akan "meledak". Tapi Kemendikbud berpikir bahwa seluruh jurnal ilmiah bisa ditampung melalui jurnal online di kampus masing-masing, dan untuk jenjang S-2 dapat memanfaatkan jurnal ilmiah kaliber nasional, dan S-3 dapat masuk ke jurnal internasional.
(Kompas)
0 comments:
Post a Comment