Jakarta, Kompas - Potensi panas bumi di Indonesia sangat besar, yakni mencapai 27.000 megawatt. Hal ini bisa dijadikan sebagai energi alternatif dalam mengatasi kekurangan pasokan listrik.
Namun, pengembangan energi ini terkendala tumpang tindih aturan, besarnya investasi awal, dan ketidakpastian harga jual listrik dari pembangkit listrik panas bumi.
Menurut Direktur Eksekutif CIDES Rohmad Hadiwijoyo dalam diskusi bertema ”Krisis Listrik Kapan Berakhir”, Kamis (20/1) di Jakarta, sebagian besar lokasi panas bumi berada di kawasan hutan lindung dan sering terdapat perbedaan penafsiran hukum tentang izin penambangan antara pengembang dan Kementerian Kehutanan. ”Padahal, Presiden pernah berjanji akan membantu memperpendek jalur birokrasi dengan instansi terkait untuk mempercepat pengembangan panas bumi,” ujarnya.
Untuk pengembangan panas bumi yang menghasilkan listrik 45 MW diperlukan investasi 105 juta dollar AS (sekitar Rp 949,2 miliar). Biaya ini termasuk pembangunan infrastruktur, turbin pembangkit, dan pengeboran sumur panas bumi.
”Sementara minat bank lokal memberikan pembiayaan proyek-proyek panas bumi di Indonesia rendah,” ujar Rohmad.
Oleh karena itu, proyek panas bumi dinilai memiliki risiko usaha tinggi dan butuh waktu lama untuk balik modal, yakni 10 tahun.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dinilai kurang agresif dalam membeli listrik dari pengembang panas bumi. Dari hasil lelang swasta dan pemerintah daerah untuk pengembangan panas bumi, sampai kini belum ada satu pun perjanjian jual-beli listrik dengan PLN.
Padahal, Bank Dunia tertarik untuk memberi dana 1 miliar dollar AS (sekitar Rp 9,04 triliun) dengan skema pinjaman lunak untuk pengembangan energi ramah lingkungan itu.
Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto menambahkan, pengaturan harga pembelian tenaga listrik oleh PLN dari pembangkit listrik berbasis energi terbarukan skala kecil dan menengah sudah termuat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2009.
Namun, pelaksanaannya terkendala oleh terbatasnya infrastruktur karena energi terbarukan umumnya berada di daerah terpencil dan jauh dari jaringan listrik PLN. Harga patokan tertinggi pembelian listrik oleh PLN dari pembangkit listrik tenaga panas bumi 9,7 sen dollar AS per kWh telah diatur dalam Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2009.
Namun, hal ini masih terkendala kondisi sektor hulu, di mana terdapat peluang biaya produksi panas bumi lebih mahal dibandingkan harga patokan tertinggi.
Berbagai kendala itu mengakibatkan pengembangan energi panas bumi sebagai solusi dari persoalan kelistrikan di Indonesia tidak optimal. Tidak banyak perusahaan yang menghasilkan listrik dari panas bumi di antaranya Chevron sekitar 525 MW dan Star Energi 350 MW. (EVY)
• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment