ANTARA/PUSPA PERWITASARI
KOMODO sedang menjadi selebritas. Hewan purba yang hanya bisa ditemui di Flores, Nusa Tenggara Timur ini masuk dalam final New Seven Wonders yang pemilihan pemenangnya didasarkan suara terbanyak.
Sudah dua kali ini, tujuh keajaiban dunia dipilih dengan menggunakan sistem idol. Artinya, pemenang didasarkan pada suara terbanyak. Dalam dunia pemasaran, pemilihan itu berarti tantangan untuk menjual produk. Sedangkan dalam dunia pariwisata nasional, berarti kesempatan untuk menjual Indonesia.
Penjelasan itu pula yang antara lain dituliskan oleh panitia new 7 wonder dalam proposal yang dikirimkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Alasan lainnya, mereka mengemban misi agar warisan kekayaan dunia bisa lebih dikenal dan diingat masyarakat. Jika dilihat dari sisi pemasaran, sudah pasti saran utama pilih komodo supaya hewan purba ini bisa muncul di tujuh keajaiban dunia yang akan diumumkan 11 November 2011 (11/11/11) di situs new7wonders.com.
Namun, jika melirik dampak negatif yang bisa ditimbulkan, kepopuleran komodo bisa mendatangkan bencana. Pertanyaannya, seberapa jauh kelestarian lingkungan, terutama di taman nasional Komodo dan sekitarnya bisa terjaga?
World Tourism Organization (WHO) pernah mengingatkan pembangunan fasilitas pariwisata seringkali terbukti merusak alam dan meningkatkan potensi tanah longsor serta banjir.
Belum lagi ancaman pencemaran lingkungan. Kegiatan wisata seperti hiking, diving, rafting dan panjat tebing juga berpotensi kerusak lingkungan dan mengganggu kehidupan flora dan fauna.
Ancaman ketenaran komodo juga diungkapkan Direktur UNESCO Jakarta Hubert Gijzen. Saat diwawancara wartawan disela World Conference Culture, Education, and Science (WISDOM) 2010 di Yogyakarta beberapa waktu lalu, dia mengungkapkan dilema yang akan dihadapi Pemerintah Indonesia.
Jika mengutamakan kelestarian lingkungan, maka konsekuensi penerimaan materi dari sektor pariwisata Pulau Komodo tidak bisa sebesar yang diharapkan. Jika mengutamakan masukan materi dari banyaknya wisatawan yang masuk, kemungkinan besar kelestarian lingkungan akan terganggu. Jika terganggu, maka tidak tertutup kemungkinan Unesco mencabut 'gelar' komodo sebagai situs warisan dunia.
Hal senada juga dikemukakan Jean-Michel Cousteau, ahli konservasi dunia yang juga hadir dalam konferensi WISDOM di Yogyakarta. Kepada wartawan dia mengatakan, hanya ada satu cara untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan akibat kunjungan massal. Yaitu membuat aturan jelas, semisal tentang jumlah kunjungan wisman perhari.
Lebih dari itu, yang terpenting ialah bagaimana benar-benar bisa melaksanakan peraturan tersebut. Bisakah? (Lin/X-13)
• MediaIndonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment