KOMPAS.com - Bagi dunia penerbangan militer, kabar mutakhir yang banyak menjadi wacana hangat adalah tentang jet siluman (tak kasatradar) rancangan China, J-20. Selain itu sebenarnya juga ada kabar tentang pesawat tempur rancangan India, yakni light combat aircraft (LCA).
Untuk jet terakhir ini, Kementerian Pertahanan India, pekan silam, mengeluarkan izin (clearance) operasi awal bagi pesawat tempur serbaguna yang dikembangkan sendiri oleh India ini yang kini diberi nama ”Tejas”.
Bagi pengamat luar, keputusan di atas seperti menyiratkan bahwa militer India semakin bergerak menuju ke arah kemandirian (Sushant Singh, The Wall Street Journal, 18/1). Namun, hal itu tampaknya tidak melukiskan hal sebenarnya karena, dari seluruh perlengkapan militer India, kandungan lokal hanya 30 persen dan selebihnya merupakan produk impor. Tejas juga tak bisa dijadikan contoh karena proyek sudah dimulai pada 1969 hingga malah memunculkan pertanyaan apakah India sebenarnya serius mengembangkan kemampuan domestik di bidang pertahanan.
Sebaliknya terjadi pada China. Didorong kemajuan ekonomi, yang lalu memberi banyak dana untuk litbang militer, serta ambisi menjadi kuasa utama dunia, China konsisten untuk menguasai desain dan rekayasa, dari mainan anak-anak, produk teknologi informasi komunikasi komersial, seperti telepon seluler dan laptop, hingga pesawat terbang canggih.
J-20 dan F-22
Perbandingan J-20 (atas) dengan Sukhoi T-50 dari Rusia (tengah) dan F22 Raptor milik AS (bawah).
Dari hasil rekayasa China, satu karya yang hangat dibicarakan seiring dengan lawatan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates ke Beijing, pertengahan Januari lalu, adalah jet yang diaku China berkemampuan mengelak dari radar.
J-20 merupakan jet tempur bermesin dua yang disebut-sebut masuk kategori jet tempur generasi kelima, setara dengan jet F-22 Raptor dan F-35 Lightning II. Seperti diberitakan (Kompas, 7/1), J-20 bahkan punya badan lebih besar dan panjang, menyiratkan ia diproyeksikan mengangkut senjata lebih banyak dan menjangkau sasaran lebih jauh.
J-20 terbang perdana pada 11 Januari 2011 di Chengdu, yang—bersama Shenyang di Provinsi Liaoning dan Xi’an di Provinsi Shaanxi—merupakan pangkalan industri kedirgantaraan China yang paling maju (China Daily, Asia Weekly, 14-20/1).
Memang dari penerbangan perdana kemarin orang belum bisa menyimpulkan, apakah J-20 benar-benar merupakan pesawat tempur generasi kelima. Sekadar catatan, dalam dunia penerbangan militer, definisi generasi kelima masih sering diperdebatkan. Namun, satu hal sudah jelas, jet generasi kelima merupakan pesawat tempur yang supercanggih. Selain memiliki teknologi stealth yang membuatnya sulit dideteksi radar, ia juga berkemampuan manuver unggul, demikian pula avionik (elektronika penerbangan) yang maju. Komputer penerbangan yang ada di pesawat membuat pesawat juga terintegrasi dengan medan tempur, bisa mengkaji situasi dengan cepat.
Dewasa ini, satu-satunya jet tempur yang punya kemampuan seperti itu adalah F-22 Raptor yang kini dioperasikan AU AS (USAF) untuk mempertahankan keunggulan udara (air supremacy) adidaya satu-satunya.
China, yang memandang pertahanan negaranya juga harus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonominya, melihat keunggulan udara seperti AS juga harus dimiliki. Kini, meski masih harus membuktikan kemampuan J-20, China setidaknya sudah bisa membuktikan, ia bisa membuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) mutakhir ini. Sejumlah analis mengatakan, penerbangan perdana J-20 menjadi petunjuk bahwa China membuat kemajuan lebih cepat daripada yang diduga orang dalam membuat tandingan F-22 (Reuters/Jakarta Post, 12/1).
Melihat munculnya program jet tempur supercanggih, negara lain, seperti Jepang, jelas tak bisa berpangku tangan. Setelah permintaan membeli F-22 sejauh ini ditolak AS, Jepang sempat memperlihatkan niat untuk membuat sendiri jet tempur siluman.
Negara lain peminat F-22 adalah Australia. Namun, sebagaimana Jepang, Australia, sebagai sekutu dekat AS, pun masih belum diizinkan membeli jet yang dihitung dari biaya pengembangannya merupakan jet tempur paling mahal di dunia, dengan harga satuan sekitar 250 juta dollar AS (sekitar Rp 2,25 triliun). Berikutnya, seiring penambahan produksi, harga F-22 disebut menjadi 130 juta dollar AS per unit (Kompas, 25/7/2007).
Secara kemampuan, F-22 bisa melumpuhkan jet tempur apa pun di dunia sekarang ini. Lawan tak akan pernah tahu, F-22 ada di mana dan akan datang menyerang dari arah mana, tetapi tahu-tahu ia akan jadi sasaran rudal udara-ke-udara (seperti AIM-120 AMRAAM) yang dibawa F-22.
Memetik pelajaran
Dewasa ini, Indonesia juga tengah mengembangkan kerja sama dengan Korea Selatan untuk membuat jet tempur canggih generasi 4,5. Ini berarti, kemutakhiran pesawat di atas F-16C/D, tetapi masih di bawah F-22 atau F-35.
Sebagian kalangan memang masih mempertanyakan kemanfaatan program ini, dari sisi biaya ataupun dari sisi pemilihan mitra. Pada era munculnya jet tempur canggih, seperti F-22 atau J-20, membuat jet seperti KFX yang digagas Korsel-Indonesia terkesan kehilangan relevansi. Namun, di pihak lain, ada sejumlah faktor positif untuk mendukung program semacam ini.
Selain memajukan kemandirian, melalui program semacam KFX bisa dikembangkan pula kemampuan rekayasa insinyur penerbangan Indonesia, yang berikutnya diharapkan bisa menghasilkan spin-off atau manfaat ikutan, yang memicu produk atau kemampuan lain.
Namun, satu hal juga dapat ditarik dari program seperti J-20, yaitu proyek pertahanan yang dilaksanakan dengan biaya mahal ini tak lalu menghasilkan produk seperti LCA Tejas India. Pemerintah dan industri nasional harus sepenuhnya mendukung program nasional ini dan menjadikannya ujung tombak penguasaan teknologi serta alutsista yang dibutuhkan negara.
• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment