Pertumbuhan konsumsi energi Indonesia mencapai 7 persen per tahun.
Ini soal energi. Pertumbuhan konsumsi kita ternyata paling tinggi di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi energi itu mencapai 7 persen per tahun. Padahal, pertumbuhan konsumsi energi dunia hanya rata-rata 2,6 persen per tahun. Jadi selisihnya sangat jauh.
Tingginya jumlah konsumsi energi itu, disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat 23 November 2012. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Djajang Sukarna, menjelaskan bahwa konsumsi energi yang tinggi itu bisa menimbulkan masalah dikemudian hari. Bisa menimbulkan ketimpangan.
Timpang karena terjadi pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan gas bumi serta batu bara yang lebih cepat, dibandingkan penemuan cadangan baru. "Sedangkan saat ini, penggunaan energi baru terbarukan masih 5-6 persen dari penggunaan energi secara keseluruhan," kata Djajang kepada VIVAnews.
Menurut Djajang, masih kecilnya peran energi baru terbarukan dan konservasi energi itu memaksa pemerintah menggenjot fungsi energi baru terbarukan itu. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada 2020, peranan energi baru terbarukan diharapkan meningkat minimal 17 persen.
Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa penggunaan energi baru terbarukan pada 2020, antara lain biofuel minimal lima persen, panas bumi lima persen, energi baru terbarukan seperti biomasa, air, tenaga surya, tenaga angin, dan nuklir lima persen serta coal bed metane sebesar dua persen.
Bahkan, Kementerian ESDM memasang target lebih tinggi dari peraturan pemerintah, yaitu 25 persen. Berbagai target ini, kata Djajang, merupakan tantangan bagi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Berbagai kebijakan pun telah diterbitkan Kementerian ESDM, seperti perbaikan tarif listrik panas bumi, listrik dari sampah, hingga harga listrik dari biomasa. Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi juga akan menerbitkan tarif baru untuk listrik dari tenaga surya.
Selain itu, kebijakan lintas sektoral antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan juga telah dikeluarkan, yaitu dengan memberikan berbagai insentif fiskal seperti pengurangan pajak barang ekspor, hingga pengurangan pajak pertambangan nilai (PPN) untuk keperluan pembangunan pembangkit listrik panas bumi.
"Berbagai kebijakan telah kami buat agar investor mau masuk. Dari perbaikan tarif listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan dan kewajiban PLN untuk membeli listrik dari swasta," katanya. Pemerintah pun telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan untuk menekan penggunaan energi fosil yang semakin cepat habis.
Porsi masih kecil
Tingginya jumlah konsumsi energi itu, disampaikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat 23 November 2012. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Djajang Sukarna, menjelaskan bahwa konsumsi energi yang tinggi itu bisa menimbulkan masalah dikemudian hari. Bisa menimbulkan ketimpangan.
Timpang karena terjadi pengurasan sumber daya fosil seperti minyak dan gas bumi serta batu bara yang lebih cepat, dibandingkan penemuan cadangan baru. "Sedangkan saat ini, penggunaan energi baru terbarukan masih 5-6 persen dari penggunaan energi secara keseluruhan," kata Djajang kepada VIVAnews.
Menurut Djajang, masih kecilnya peran energi baru terbarukan dan konservasi energi itu memaksa pemerintah menggenjot fungsi energi baru terbarukan itu. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada 2020, peranan energi baru terbarukan diharapkan meningkat minimal 17 persen.
Dalam peraturan pemerintah tersebut diatur bahwa penggunaan energi baru terbarukan pada 2020, antara lain biofuel minimal lima persen, panas bumi lima persen, energi baru terbarukan seperti biomasa, air, tenaga surya, tenaga angin, dan nuklir lima persen serta coal bed metane sebesar dua persen.
Bahkan, Kementerian ESDM memasang target lebih tinggi dari peraturan pemerintah, yaitu 25 persen. Berbagai target ini, kata Djajang, merupakan tantangan bagi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM.
Berbagai kebijakan pun telah diterbitkan Kementerian ESDM, seperti perbaikan tarif listrik panas bumi, listrik dari sampah, hingga harga listrik dari biomasa. Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi juga akan menerbitkan tarif baru untuk listrik dari tenaga surya.
Selain itu, kebijakan lintas sektoral antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan juga telah dikeluarkan, yaitu dengan memberikan berbagai insentif fiskal seperti pengurangan pajak barang ekspor, hingga pengurangan pajak pertambangan nilai (PPN) untuk keperluan pembangunan pembangkit listrik panas bumi.
"Berbagai kebijakan telah kami buat agar investor mau masuk. Dari perbaikan tarif listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan dan kewajiban PLN untuk membeli listrik dari swasta," katanya. Pemerintah pun telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan bauran energi baru terbarukan untuk menekan penggunaan energi fosil yang semakin cepat habis.
Porsi masih kecil
Saat ini, penggunaan energi baru terbarukan belum dirasakan oleh masyarakat, karena porsinya masih kecil, antara 5-6 persen. Namun, jika masyarakat sadar, sebenarnya energi baru terbarukan telah masuk dalam setiap rumah-rumah melalui energi panas bumi. "Listrik di Pulau Jawa sudah disuplai dari panas bumi dan sudah masuk jaringan PLN, sehingga sudah tersebar ke rumah-rumah, cuma masyarakat belum sadar," katanya.
Selain itu, energi baru terbarukan berada di sekitar masyarakat. Ia mencontohkan, di kampung-kampung banyak keluarga yang memiliki tiga ekor sapi. Kotoran tiga ekor sapi tersebut dapat diolah menjadi biogas dan cukup untuk kebutuhan energi satu keluarga setiap harinya.
Berbagai program pelatihan pun telah dilakukan oleh Kementerian ESDM, namun hasilnya tidak optimal. Karena, masyarakat lebih memilih untuk kembali menggunakan energi fosil yang lebih mudah, murah, dan tidak repot.
Ia mengatakan, selama energi fosil masih disubsidi oleh pemerintah, pada saat yang bersamaan energi baru terbarukan tidak akan berkembang. Kementerian ESDM saat ini tengah meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya penggunaan energi baru terbarukan.
"Masyarakat kita dalam tanda petik menjadi manja, karena BBM disubsidi. Akhirnya melupakan energi terbarukan. Padahal, di belakang rumahnya ada tanaman jarak yang bisa menghasilkan biofuel," katanya.
Untuk itu, perlu ada perubahan mental di masyarakat untuk sadar menggunakan energi terbarukan dan menghemat energi fosil. Jika tidak, pada 2030, Indonesia dapat menjadi nett importer energy. Kondisi yang semestinya dapat dihindari.
Ia menjelaskan, potensi energi baru terbarukan di Indonesia bisa mencukupi kebutuhan energi Indonesia hingga 100 tahun mendatang, karena memiliki potensi setara dengan 160 gigawatt (GW).
Bahkan, Wakil Presiden Boediono, menyatakan, pemerintah berkomitmen 100 persen untuk mengembangkan energi baru terbarukan itu. Sebab, Indonesia memiliki banyak ragam dan volume energi baru terbarukan. "Itu semua juga terdapat dalam kebijakan energi nasional," ujar Wapres, beberapa waktu lalu.
Kebijakan energi nasional itu, dia melanjutkan, harus memenuhi tiga unsur, yaitu keamanan energi, menjamin keberlangsungan pertumbuhan ekonomi, dan memperhatikan lingkungan hidup. "Kalau salah merumuskan strategi energi, yang menanggung kita sendiri. Kualitas hidup bisa terganggu," katanya.
Boediono mengaku, saat ini, energi nasional masih belum aman, boros, dan kotor. Namun, dengan teknologi pengembangan energi baru terbarukan yang maju pesat, semakin terjangkau, dan ekonomis, ketiga kendala tersebut diharapkan dapat diatasi.
Menurut Wapres, salah satu alternatif yang bisa mempercepat peningkatan peran energi baru terbarukan adalah tenaga listrik. Sebab, Indonesia kaya akan sumber panas bumi.
Berdasarkan data pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013, alokasi anggaran subsidi energi masih cukup besar. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati anggaran subsidi energi tahun depan hingga Rp 193,8 triliun untuk bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kilogram, dan LGV atau Liquefied Gas for Vehicle.
Alokasi LGV ini merupakan yang pertama masuk dalam anggaran pemerintah.
Untuk subsidi listrik, alokasi anggaran yang disiapkan mencapai Rp 80,9 triliun. Anggaran itu termasuk di dalamnya pembayaran kekurangan subsidi pada 2011 yang merupakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai Rp 2 triliun.
Sementara itu, pemerintah berharap dapat memperoleh pendapatan negara dari sektor minyak dan gas bumi serta pertambangan umum pada 2012 sebesar Rp 388 triliun. Jumlah ini setara 28 persen dari total pendapatan negara.
Gandeng swasta
Upaya untuk memanfaatkan energi baru terbarukan itu bukan tanpa kendala. Bahkan, pemerintah dinilai belum serius mengembangkan energi baru terbarukan itu di Indonesia.
Wakil Direktur Reform Miner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai, walaupun telah dibentuk Direktorat Jenderal khusus yang menangani energi baru terbarukan, upaya pengembangan energi itu belum optimal.
"Kami memang perlu mengapresiasi bahwa sudah ada direktorat khusus energi baru terbarukan, itu langkah positif," kata Komaidi saat dihubungi VIVAnews. "Namun, kerjanya relatif belum optimal, karena bauran energi baru terbarukan porsinya belum signifikan dan dalam beberapa tahun terakhir meleset dari target".
Ia menjelaskan, sebenarnya energi baru terbarukan sangat potensial di Indonesia. Jika pemerintah serius menggarap energi baru terbarukan itu, dapat mengonversi impor BBM Indonesia yang saat ini masih sangat besar, antara 700-800 ribu barel per hari.
"Kalau dapat mengonversi 50 persen impor BBM menjadi energi baru terbarukan, pemerintah akan mendapatkan pasokan energi yang lebih terjamin, karena tidak tergantung dengan impor BBM," ujarnya. Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah mengajak pengusaha dengan meyakinkan mereka berinvestasi di energi baru terbarukan.
Sayangnya, ia sering mendengar keluhan dari pengusaha swasta bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM tidak pernah melalui diskusi dengan pengusaha. Akibatnya, keputusan yang dikeluarkan sepihak dan tidak mengakomodasi kepentingan pengusaha.
"Akhirnya, antara yang dibutuhkan oleh pengusaha dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak nyambung," katanya. Ia mengatakan, pemerintah harus mengubah mindset, dari budaya kerja administratif menjadi lebih taktis dalam menyelesaikan masalah.
Pemerintah dapat menggunakan pendekatan korporat untuk merangkul pengusaha, karena sebenarnya Indonesia memiliki potensi besar di energi baru terbarukan. "Namun masalah utamanya adalah apakah ada kemauan dari pemerintah," tuturnya.
0 comments:
Post a Comment