Survei ini dilakukan Andira Karya Persada di 33 provinsi.
Ilustrasi PLN |
Jajak pendapat tentang penerimaan masyarakat terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang dilakukan di 33 provinsi pada 2012 mencatat 52,93 persen masyarakat setuju, 24,23 persen tidak setuju, dan 22,83 persen tidak tahu.
"Alasan responden yang menyetujui pembangunan PLTN tersebut karena pasokan listrik akan terjamin (28,54 persen), banyak manfaatnya (28,22 persen), dan listrik murah (23,42 persen)," kata Kepala konsultan Andira Karya Persada, BRA Baskoro, di Jakarta, Jumat (23/11).
Sementara itu, jajak pendapat yang dilakukan di Jawa-Madura-Bali (Jamali) sebanyak 51 persen yang menyetujui dibangunnya PLTN, 24,10 persen tidak setuju dan 24,90 persen tidak tahu. Alasan yang setuju karena banyak manfaatnya 29,83 persen, pasokan listrik terjamin 24,78 persen dan 22,06 listrik menjadi murah.
Jajak tersebut melibatkan 4.000 responden di 300 desa di Indonesia dengan ciri desa berkarakter urban (50 persen) dan desa berkarakter rural (50 persen).
"Sebanyak 4.000 responden itu yakni 3.000 responden untuk tingkat nasional dan untuk Jamali 1.000 responden," ujarnya.
Alasan responden yang menolak untuk tingkat nasional yakni karena berbahaya (81,13 persen), pembangkit listrik lain masih mencukupi (12,17 persen) dan biaya pembangunan yang mahal (6,63 persen) serta SDM yang belum siap (0,07 persen).
Untuk tingkat Jamali, alasan menolak adalah karena bahaya (86,80 persen), pembangkit listrik lain masih mencukupi (8,74 persen), biaya pembangunan yang mahal (3,30 persen) serta SDM yang belum siap (1,17 persen).
Dikatakan Baskoro, hasil riset ini cukup valid dengan ambang kesalahan untuk nasional 1,8 persen dan Jamali 3,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara itu Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S. Wisnubroto mengatakan, jajak pendapat ini adalah jajak yang ketiga kalinya, dengan pelaku survei yang berbeda meski dengan kerangka dan metodologi yang sama.
Jajak pendapat pertama dilakukan pada 2010 dengan hasil saat itu tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN secara nasional mencapai 59,7 persen, sedangkan 25,5 persen menolak serta 14,8 persen tidak tahu.
Angka penerimaan masyarakat tersebut turun sejak terjadi kecelakaan nuklir di Fukushima Jepang pada Maret 2011, menjadi hanya 49,5 persen, sedangkan 35,5 persennya menolak pembangunan PLTN dan 15 persen tidak tahu pada survei akhir 2011.
"Memang Fukushima sempat membawa dampak pada penerimaan masyarakat terhadap PLTN, namun kini setelah lewat satu tahun angka penerimaan masyarakat cenderung naik kembali," kata Gatot.
Baskoro mengatakan, dengan hasil jajak pendapat pada 2011 dengan jumlah masyarakat yang menolak PLTN sebesar 35,5 persen turun menjadi 24,23 persen pada 2012, kembali ke angka 2010 (25,5 persen), itu berarti ada "swing voter" atau pengalihan masyarakat yang menolak berubah menjadi tidak tahu atau menjadi setuju.
"Swing voter ini sangat tergantung dari bagaimana pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat," katanya.
"Alasan responden yang menyetujui pembangunan PLTN tersebut karena pasokan listrik akan terjamin (28,54 persen), banyak manfaatnya (28,22 persen), dan listrik murah (23,42 persen)," kata Kepala konsultan Andira Karya Persada, BRA Baskoro, di Jakarta, Jumat (23/11).
Sementara itu, jajak pendapat yang dilakukan di Jawa-Madura-Bali (Jamali) sebanyak 51 persen yang menyetujui dibangunnya PLTN, 24,10 persen tidak setuju dan 24,90 persen tidak tahu. Alasan yang setuju karena banyak manfaatnya 29,83 persen, pasokan listrik terjamin 24,78 persen dan 22,06 listrik menjadi murah.
Jajak tersebut melibatkan 4.000 responden di 300 desa di Indonesia dengan ciri desa berkarakter urban (50 persen) dan desa berkarakter rural (50 persen).
"Sebanyak 4.000 responden itu yakni 3.000 responden untuk tingkat nasional dan untuk Jamali 1.000 responden," ujarnya.
Alasan responden yang menolak untuk tingkat nasional yakni karena berbahaya (81,13 persen), pembangkit listrik lain masih mencukupi (12,17 persen) dan biaya pembangunan yang mahal (6,63 persen) serta SDM yang belum siap (0,07 persen).
Untuk tingkat Jamali, alasan menolak adalah karena bahaya (86,80 persen), pembangkit listrik lain masih mencukupi (8,74 persen), biaya pembangunan yang mahal (3,30 persen) serta SDM yang belum siap (1,17 persen).
Dikatakan Baskoro, hasil riset ini cukup valid dengan ambang kesalahan untuk nasional 1,8 persen dan Jamali 3,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Sementara itu Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S. Wisnubroto mengatakan, jajak pendapat ini adalah jajak yang ketiga kalinya, dengan pelaku survei yang berbeda meski dengan kerangka dan metodologi yang sama.
Jajak pendapat pertama dilakukan pada 2010 dengan hasil saat itu tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN secara nasional mencapai 59,7 persen, sedangkan 25,5 persen menolak serta 14,8 persen tidak tahu.
Angka penerimaan masyarakat tersebut turun sejak terjadi kecelakaan nuklir di Fukushima Jepang pada Maret 2011, menjadi hanya 49,5 persen, sedangkan 35,5 persennya menolak pembangunan PLTN dan 15 persen tidak tahu pada survei akhir 2011.
"Memang Fukushima sempat membawa dampak pada penerimaan masyarakat terhadap PLTN, namun kini setelah lewat satu tahun angka penerimaan masyarakat cenderung naik kembali," kata Gatot.
Baskoro mengatakan, dengan hasil jajak pendapat pada 2011 dengan jumlah masyarakat yang menolak PLTN sebesar 35,5 persen turun menjadi 24,23 persen pada 2012, kembali ke angka 2010 (25,5 persen), itu berarti ada "swing voter" atau pengalihan masyarakat yang menolak berubah menjadi tidak tahu atau menjadi setuju.
"Swing voter ini sangat tergantung dari bagaimana pemerintah melakukan sosialisasi kepada masyarakat," katanya.
0 comments:
Post a Comment