Wednesday, 16 March 2011

Nasib Batu Bata Tahan Gempa Madiun

Pekerja mengeringkan batu bata merah di sentra industri batu bata merah, Majalaya, Bandung,(1/2). Akibat musim hujan harga batu bata mengalami kenaikan dari Rp 300/buah menjadi Rp 375/buahnya akibat bertambahnya waktu pengeringan. ANTARA/Rezza Estily

TEMPO Interaktif, Madiun - Prestasi anak-anak Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Madiun memang patut dicungi jempol. Mereka mearih medali emas olimpiade pelajar internasional bidang lingkungan, International Environtmental Project Olympiad di Istambul, Turki, 19-22 Mei 2010 lalu.

Namun pemerintah daerah tak peka dengan prestasi itu. “Saya malah baru dengar ini. Kalau memang sudah teruji, seharusnya bisa dikembangkan atau dikomersilkan karena ini potensi daerah yang bermanfaat bagi masyarakat luas bahkan dunia,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Madiun Purwanto Rabu (16/3).

Siswa-siswa tersebut, dibawah guru pembina Fisika Imam Zuhri, membuat karya ilmiah inovasi batu bata tahan gempa. Mereka adalah Nina Milasari (kelas 11) dan Christina Kartika Bintang Dewi (kelas 10). Batu bata itu dibuat dari campuran tanah dan abu limbah pabrik gula.

Batu bata sudah diuji di Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Kekuatan batu bata ini mampu menahan beban lebih kuat 91831,56 Pa atau 0.9 kgf/cm2. Batu bata merah memiliki kuat tekan 100 kg/cm2. Padahal berat batu bata lebih ringan dua ons dibanding batu bata biasa.

Produksinya lebih murah, yakni Rp Rp 160 ribu per 1.000 bata dibandingkan Rp 178 ribu. “Pernah ada pengusaha asosiasi kontraktor bangunan ramah lingkungan menghubungi tapi selanjutnya tidak ada tindak lanjutnya,” kata Imam Zuhri.

Batu bata memiliki daya lekat lebih kuat dibanding batu bata biasa. Bahan bakunya berupa tanah liat dan karbon aktif bekas pembakaran tebu yang mengandung senyawa silikat. “Kami mengambilnya dari limbah di pabrik gula,” kata Nina Milasari.

Hasil uji coba di Turki menyebutkan 10 persen dust –sebutan abu karbon limbah pembakaran tebu- efektif dicampur tanah liat dari volume massa satu batang batu bata. Eksperimen dilakukan menggunakan 5-40 persen kandungan dust dari volume massa.

Semula pihak sekolah berencana mematenkan hasil karya siswa-siswi terebut. Namun mereka tak memiliki dana. “Mau dipatenkan atau diproduksi massal, itu butuh waktu koordinasi antara sekolah, Dinas Pendidikan, Pemerintah Kota Madiun. Produksi massal, butuh dana, sarana, prasarana tidak sedikit, dan sekolah pasti tak mampu,” kata Wakil Kepala Sekolah Priyo Ami Susilo.

Purwanto mengaku pemerintah daerah dan pusat seharusnya bisa merumuskan kebijakan mematenkan dan membantu produksinya secara komersil dan massal. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Pariwisata Madiun mendukung pengembangan oleh pengrajin batu bata. Namu Dinas baru berencana mengundang sekolah dalam penyuluhan ke pengrajin batu bata. “Kalau memang lebih baik bisa saja diproduksi,” kata Kepala Bidang Perindustrian Madiun Ahmad Najib Farid.

Saat ini Imam Zuhri sudah memberikan pengarahan pada masyarakat pengrajin batu bata tradisional mengenai formula batu bata tahan gempa itu. Walaupun pengarahan itu masih bersifat ‘sekenanya’.Produksi mungkin bisa jalan, walaupun masalah dana menyulitkan sekolah untuk mematenkannya. “Untuk mengurus hak paten memang mahal dan sekolah tidak mungkin membiayainya. Pemerintah juga belum berperan jauh dalam pengembangannya,” kata Lulusan Pendidikan Fisika IKIP Surabaya ini.[ISHOMUDDIN]


TEMPOInteraktif

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...