Jakarta - Indonesia harus hemat energi, sebab cadangan energinya menipis dan menipis lagi. Relasi RI dan Jepang untuk sebagian bakal terganggu soal energi ini. Meski kebijakan pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah mineral mendapatkan protes pengusaha Jepang, RI harus menghemat ekspor energi karena kebutuhan domestik kian meninggi.
Jepang sudah 50 tahun lebih Jepang menikmati bahan mentah Indonesia. Tim ekonomi Indonesia Oktober ke Jepang, dan mendapatkan keluhan dari Pengusaha Jepang, bahkan mereka protes kebijakan ESDM terkait tidak boleh ekspor bahan mentah.
Untuk ekspor nikel misalnya, Jepang yang merupakan pengguna nikel terbesar kedua dunia, sudah meminta Indonesia untuk menghapuskan pembatasan ekspor mineralnya dan mengatakan akan membawa masalah ini ke World Trade Organization jika kompromi gagal.
Jika Indonesia terus melanjutkan pelarangan ekspor secara penuh 2014 mendatang, Jepang akan mengadu pada WTO jika kompromi tidak tercapai. Ekspor dari Indonesia diperkirakan akan turun 20% pada semester kedua tahun ini.
Jepang telah mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel untuk menghasilkan feronikel dan nikel olahan lainnya dimana Indonesia memenuhi 1,95 juta ton atau 53% dari total impor tersebut. Jumlah ini diikuti oleh New Caledonia dengan 27% dari total, dan Filipina yang mengekspor 19%.
Indonesia telah mengurangi sebagian ekspornya sejak 6 Mei, ditambah pajak 20% untuk komoditas ekspor lain, menjadikan biaya untuk pabrik peleburan di Jepang meningkat. Jepang yang minim sumber daya juga menderita ketika China membatasi ekspor mineral langkanya sehingga harga naik dan WTO harus mendengar keluhan Jepang.
Jepang tidak memiliki sumber nikel dari negara lain sehingga harga berpeluang naik 17% dengan rata-rata US$ 20.000 per metrik ton pada kuartal keempat tahun ini. Harga nikel telah turun 9,1% tahun ini, terburuk diantara lgoam utama lainnnya di London Metal Exchange.
Seiring perkembangan ekonomi Indonesia, sudah saatnya ekspor bahan mentah dihentikan karena Indonesia mampu mengolah sendiri bahan mentah menjadi bahan yang lebih bernilai tambah. Apalagi kita sudah 50 tahun lebih ekspor bahan mentah termasuk ke Jepang.
Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa sudah menjelaskan secara tepat bahwa pengolahan hasil tambang harus sesuai kaidah hidup, maka tidak boleh lagi ekspor bahan mentah.
Hal yang sama juga terjadi pada gas, sebagian besar produksi lifting gas Indonesia diekspor ke luar negeri. Tercatat oktober lalu,produksi gas mencapai 7.224 MMSCFD. Dan seiring meningkatnya kebutuhan gas dalam negeri maka ekspor gas akan dikurangi.
Seyogianya gas yang dihasilkan paling utama untuk kepentingan Indonesia. Namun RI juga tidak akan melanggar kontrak yang ada begitu saja. ''Tapi semua bisa dinegosiasikan, kalau kurang tentu ekspor dikurangi," kata Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik.
Dicontohkan Jero, produksi gas di Tangguh Papua di Train 1 dan 2, awalnya 100% buat ekspor, sebagian untuk dikirim ke Fujian China dan Jepang sebagian lagi di Sempra ke Amerika Serikat. Namun dengan pembicaraan dan jalin kerjasama yang baik, RI mau mengalokasikan 230 juta kaki kubik fit per hari untuk PLN. Dan sekarang disiapkan Train III dengan komitmen dalam kontrak 40 persen dari total produksi akan diberikan untuk domestik.
Bahkan saat ini Pemerintah sedang menggenjot Energi Baru dan terbaharukan, seperti proyek 10.000 mega watt. Apabila proyek ini gagal, maka penggunaan gas untuk dalam negeri semakin banyak, bisa terjadi bahwa ekspor mineral banyak dikurangi.
Untuk bisa bertambah maka diperlukan eksplorasi baru, investasi baru, dan RI mengundang serta membuka pintu selebar-lebarnya kepada investor asing, termasuk Jepang, untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan langkah RI mengurangi atau menghentikan ekspor bahan mentah ke Jepang, semestinya Tokyo berpikir ke depan untuk mencari sumber energi di negara lain. Masalahnya, sumber energi itu kian langka, sementara peminat dan penggunanya makin berlipat ganda jumlahnya. Jelas ini pekerjaan rumah bagi negeri sakura setelah kian lama ''bobok nyaman'' dalam pangkuan energi Indonesia.
0 comments:
Post a Comment