TEMPO Interaktif, Jakarta - Komunikasi murah bukan mustahil. Ketika berbagai operator seluler berlomba memberikan akses komunikasi berbiaya rendah, penggiat teknologi informasi Onno W. Purbo justru sudah membuktikan teknologi Open Base Transceiver Station (OpenBTS), yang tidak lagi menggunakan jaringan milik operator seluler untuk saling berkomunikasi menggunakan telepon seluler berbasis global system for mobile (GSM).
Bersama tiga rekannya, jebolan teknik elektro dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini berhasil mencoba sistem pemancar bersifat terbuka (OpenBTS) di Asian Institute of Technology di Thailand beberapa waktu lalu. "OpenBTS ini lebih murah, hemat energi, dan dapat diatur sesuai kebutuhan," kata Onno kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Daya listrik yang dibutuhkan OpenBTS dalam cakupan satu ruangan itu, kata dia, hanya 200 miliwatt. Apabila ingin memperluas "wilayah jajahannya", tinggal menambahkan amplifierdan antena yang kekuatannya disesuaikan dengan keinginan. Menurut penggagas RT/RW-Net ini, untuk menjangkau area seluas satu kecamatan, OpenBTS hanya memakan daya 6-9 watt.
Biaya yang dibutuhkan untuk membuat OpenBTS sekitar Rp 15-25 juta. Bandingkan dengan investasi hingga miliaran rupiah yang dikeluarkan berbagai perusahaan operator seluler untuk membangun menara pemancarnya. Peralatan yang dipakai dalam sistem OpenBTS ini, antara lain, sebuah perangkat keras Universal Software Radio Peripheral (USRP) dengan harga US$ 1.500 ditambah bea masuk US$ 800. Hardware yang bentuknya seperti radio ini biasanya digunakan untuk BTS dan radar.
Adapun perangkat lunak yang digunakan untuk menjalankannya dapat diperoleh secara gratis melalui mesin pencari Google. Software untuk memprogram "radio gila" itu adalah OpenBTS, Asterisk, dan Jabber. Cara kerja OpenBTS sama sekali berbeda dengan BTS operator seluler. Traffic yang lazimnya diteruskan ke Mobile Switching Center, pada OpenBTS diterminasi pada boks yang sama dengan cara meneruskan data ke Asterisk PBX melalui SIP dan Voice-over-IP (VoIP).
Pada saat uji coba, OpenBTS mampu meneruskan sinyal dari berbagai jenis ponsel, dari ponsel jadul hingga smartphone. Namun, untuk ponsel model lama, sambungan telepon agak tersendat karena frekuensi yang dipancarkan kurang stabil atau clock reference-nya berubah-ubah. Adapun pada telepon pintar mampu menyesuaikan jika terjadi pergeseran frekuensi. Bagi yang ingin menggunakan ponsel code division multiple access (CDMA) dengan OpenBTS, pengguna harus mengganti programnya terlebih dulu.
Onno memang bukan orang pertama yang mengembangkan OpenBTS. Harvind Samra dan David A. Burgess adalah yang pertama kali mempopulerkan teknologi murah meriah ini dengan target mengurangi biaya penggunaan layanan GSM sampai di bawah US$ 1 setiap bulan untuk satu pelanggan. Tahun ini teknologi OpenBTS sudah diterapkan secara permanen di Nieu, sebuah negara kepulauan yang berasosiasi langsung dengan Selandia Baru. Lantaran letaknya yang terpencil dan penduduk hanya sekitar 1.700 orang, operator seluler tidak tertarik melayani komunikasi di negara yang dijuluki Karang Polinesia ini.
Untuk menerapkan teknologi OpenBTS di Tanah Air, Onno mengaku agak sulit karena terhambat aturan barang impor dan izin frekuensi. Padahal, dia melanjutkan, OpenBTS sangat bermanfaat ketika terjadi bencana alam, daerah yang terisolasi, dan saat komunikasi terputus sama sekali.[Rini Kustiani]
• TEMPOInteraktif
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment