KOMPAS.com - Direktur Tunas Indonesia Kreatif Ferie Budiansyah mengungkapkan sulitnya membuat film animasi. Ia dan beberapa rekannya tengah membuat film animasi tentang peristiwa Bandung Lautan Api. ”Kendalanya banyak, terutama pendanaan. Belum ada sponsor. Padahal, sudah ditawarkan ke berbagai pihak,” katanya.
Proposal, misalnya, sudah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat, badan usaha milik negara (BUMN), dan operator seluler. Kalau terealisasi, lanjut Ferie, Bandung Lautan Api (BLA) direncanakan menjadi film animasi panjang pertama di Indonesia yang diputar untuk bioskop-bioskop. Film itu berkisah tentang tiga bocah berlatar belakang berbeda. Bocah Belanda, pribumi, dan Tionghoa disatukan dalam dunia bermain.
Peristiwa BLA yang berlangsung pada Maret 1946 diceritakan dari sudut pandang ketiga anak yang belum mengerti, mengapa perang bisa memisahkan dan memorakporandakan persahabatan mereka. ”Sejauh ini, belum ada respons positif, tetapi saya akan terus coba tawarkan ke investor-investor. Kalau sumbernya dari tanggung jawab sosial perusahaan, bisa saja,” kata Ferie.
Taksiran biaya produksi film sekitar Rp 2 miliar. Jumlah itu belum termasuk biaya pemasaran sekitar Rp 2 miliar. ”Kalau ditambah yang lain-lain bisa sekitar Rp 5 miliar. Makanya, saya minta teman-teman ikut membantu. Kalau penyanyi, misalnya, bisa menyumbang lagu,” katanya.
Ferie menambahkan, biaya perangkat lunaknya saja sekitar Rp 30 juta. Karena itu, ia berencana menggunakan open source untuk mengefisiensikan biaya. Hambatan itu belum termasuk sulitnya mengumpulkan data, wawancara, dan survei. Wawancara tiga pelaku BLA sudah dilakukan.
”Masih perlu sekitar lima orang lagi. Kami juga harus menghimpun komunitas dan usaha animasi. Jumlahnya pasti tidak sedikit,” katanya.
Ferie sendiri ikut menanyakan para pejuang yang ikut terlibat dalam BLA. Itu pun dilakoninya dengan biaya dari kocek sendiri. Ferie menyebut rencananya sebagai proyek militan. ”Tim inti saja hanya lima orang. Kalau dianggap proyek gila, ya memang benar begitu,” ujarnya.
Meski demikian, Ferie tetap optimistis mengerjakan film berdurasi sekitar 75 menit untuk penonton semua umur itu. ”Saya mengunggah potongan filmnya ke internet. Kalau dukungan sudah sangat banyak, tetapi baru lisan dan doa,” selorohnya.(Dwi Bayu Radius)
Semangat Berkarya dari Ruang Pengap
Dunia animasi yang di layar kaca terlihat menyenangkan dan gemerlap itu sebenarnya menyimpan kegetiran pekerjanya. Di balik layar, usaha animasi terengah-engah bertahan dengan perlengkapan kerja seadanya dan modal pas-pasan. Di Kota Bandung, Jawa Barat, misalnya, tidak ada studio animasi yang tak butut.
Di kantor Kojo Anima, Jalan Terusan Tubagus Ismail Indah, Bandung, proses mengisi suara tokoh film dilakukan di mushala. Kalau sedang tidak ada yang shalat, ruang berukuran hanya sekitar 3 x 3 meter persegi itu jadi studio kecil. Di sudut ruang yang sempit teronggok gulungan karton, meja kecil, dan potongan koran. Tidak ada lagi ruang yang memadai di sana sehingga mushala pun harus dijadikan studio.
Usaha animasi dijalankan di rumah kecil. Di beberapa bagian cat temboknya sudah mengelupas. Demikian pula di bagian utama dalam rumah. Semua peralatan yang digunakan masih sederhana. Perlengkapan paling modern, yakni komputer desktop biasa sebanyak tujuh unit.
Di kantor Acintyarupa Karya Nagaya, film animasi juga lahir dari ruang pengap. Pembuatan karya animasi hanya dilakukan di ruang kontrakan berukuran 4 x 4 meter persegi yang disesaki oleh delapan orang dengan senjata andalan seperangkat komputer. Sebenarnya ada satu ruang kosong lagi yang dikelola oleh Acintyarupa Karya Nagaya. Namun, hingga kini belum bisa dipakai karena masih menunggu perangkat komputer yang lain.
"Baru bulan September lalu kami pindah ke sini. Sebelumnya, kami menumpang di kantor animasi milik teman. Kami menyewa dua ruangan ini sebesar Rp 30 juta per tahun dengan uang kas kantor. Hanya satu ruangan yang bisa kami pakai. Satu ruangan lainnya untuk menyimpan barang dan tempat shalat," kata salah seorang pendiri Acintyarupa Karya Nagaya, Andri Kharisma Putra.
Selain itu, karena menyewa ruangan yang merupakan bagian rumah tinggal, keterbatasan daya listrik juga memengaruhi kinerja mereka. Dengan daya sebesar 2.200 volt ampere (VA) saja, hanya delapan komputer yang bisa mereka operasikan. Untuk menambah perangkat lain rasanya belum memungkinkan karena khawatir listrik rumah akan mati ketika peralatan baru dipasang.
"Kami pernah mencoba memasang peralatan baru untuk proses pembuatan dan editing animasi. Hasilnya, lampu semua rumah mati karena dayanya tidak memungkinkan lagi," kata Andri.
Namun, usaha animasi tetap bertahan. Tanpa dukungan dan subsidi pemerintah, sebagian tak sudi gulung tikar karena idealisme. Kojo Anima sudah membuat lebih dari 150 film animasi. Film-filmnya pun selalu bermuatan lokal.
Pendiri Kojo Anima, Andriansyah, mengaku harus menomboki usaha animasi dari bisnisnya yang lain. Ia menjalankan pabrik kaleng dan bisnis konstruksi di Jakarta. Padahal, biaya membuat film animasi tidak murah. Setiap episode membutuhkan dana Rp 30 juta-Rp 50 juta dengan durasi 30 menit. Perlengkapan sederhana untuk membuat setiap film diselesaikan hingga tiga bulan.
"Maka, tidak heran jika kualitas film animasi lokal masih kerap dibanding-bandingkan dengan produk asing," tutur Andriansyah.
Meski demikian, permintaan dari stasiun televisi untuk membuat film yang lebih bagus justru membuat ia bersemangat. Bahkan, rasa nasionalismenya tumbuh dari membuat film animasi lokal. Pola hidup, budaya, dan bahasa animasi lokal akan lebih dekat dengan penonton, terutama anak-anak.
"Saya keburu kecemplung. Demi mengembangkan dunia animasi Indonesia, saya sudah habis uang dan waktu," paparnya.
Sementara Andri mencontohkan animasi tiga dimensi berseri berjudul Tumaritis buatan tim Acintyarupa Karya Nagaya. Cerita tentang kehidupan Cepot, Semar, Gareng, dan Dawala itu kini telah dibuat dalam enam film demonstrasi pendek dengan total durasi 24 menit per episode. Tumaritis diklaim memiliki keunggulan dalam kualitas gerak, cerita, dan karakter yang kuat serta menjual.
"Rata-rata pembuatan film episode dengan kualitas yang dinamis biasanya membutuhkan biaya Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per episode," katanya.
Sementara film-film animasi asing terus menggempur. Upin dan Ipin dari Malaysia, misalnya, begitu digemari anak-anak Indonesia. Belum lagi Dora The Explorer, Spongebob Squarepants, dan The Penguins of Madagascar dari Amerika Serikat. Andriansyah mencontohkan, animasi Malaysia lebih maju karena pemerintahnya mendukung dengan menyalurkan dana untuk industri itu.
"Kalau dipikir-pikir, sebenarnya kualitas animasi Indonesia tidak kalah. Hanya, industri animasi sulit berkembang karena pasarnya tidak tersedia," katanya.
Animator asal Bandung, Ivandra Witnando (32), mengatakan, keunggulan animator Indonesia terlihat saat jasa mereka digunakan di Malaysia. Gaji animator pemula Indonesia di Malaysia sekitar 12 juta per bulan.
"Mereka tidak segan membayar mahal karena mengetahui tenaga animator Indonesia bisa mendukung pengembangan animasi. Kualitas animasi yang baik memberikan nilai ekonomi bagi swasta. Negara juga diuntungkan saat animasi itu laku di pasaran," kata Ivan.
Andriansyah tetap membuat film meski tidak ada stasiun televisi yang mengorder. Jika sudah rampung, film baru ditawarkan ke stasiun-stasiun televisi. Film yang belum ditayangkan disimpan dulu.
"Kita kerap menganggap remeh karya bangsa sendiri. Karena itu, film animasi Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri," katanya.
Andriansyah hanya berharap animasi lokal lebih sering ditayangkan agar masyarakat sadar terhadap film buatan dalam negeri. Dampak lain, industri juga berkembang dengan penjualan cendera mata tokoh-tokoh animasi. Cendera mata itu seperti mug, kaus, mainan anak-anak, dan poster.
Pengamat multimedia dan komunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Suhono Supangkat, mengatakan, potensi animasi di Indonesia masih membutuhkan banyak perhatian. Saat ini arus animasi Indonesia masih berjalan secara sporadis dan berjalan masing-masing. Langkah sinergis antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan, swasta sebagai pemegang modal, dan animator sebagai senimannya belum tertata dengan baik.
"Dibutuhkan niat dan semangat kebersamaan semua pihak untuk membangun animasi yang tidak hanya mampu menghasilkan nilai ekonomi, tetapi juga menampung kreasi kreatif masyarakat," kata Suhono.[Oleh Dwi Bayu Radius dan Cornelius Helmy]
• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment