Sunday, 14 October 2012

Klub Sains


 Bicarakan dan Populerkan Sains

"Bagaimana orang yang suka manis mengatakan orang yang tidak suka manis sebagai sesat?" Ryu Hasan

Tjia May On sesekali menyeruput air putih di atas podiumnya. Perlahan dia membenarkan kaca matanya ketika seorang lelaki paruh baya di hadapannya dengan sengit menanyakan pendapatnya tentang gagasan menyatukan agama dengan sains.

"Sains dan agama adalah dua hal berbeda sekali," jawab Guru besar Fisika dari Institut Teknologi Bandung yang menjadi pembicara utama dalam diskusi klub sains Freedom Institute di Jakarta, Rabu malam (10/10) lalu.

"Tetapi pak, saya bilang sains kita jadikan empirical religion. Saya memahaminya begini di dalam agama ada yang melampui yang kodrati, yakni Allah, malaikat, hidup kekal. Dalam sains ada dimensi yang melampui sains sekarang. Kita misalnya tidak bisa mengklaim jagat raya sudah dipahami seluruhnya, mungkin baru 10 persen," sambar sang penanya.

Professor berusia 77 tahun itu pun tak sabar menyela, "Oh enggak bener! Kalau menurut saya itu pendekatannya berbeda sekali. Sains itu dari awal sifatnya adalah terus berkembang."

"Jika seseorang sudah menganut scientific approach maka ia harus dibebaskan untuk bertanya terus. Sedangkan kalo agama itu mempunyai premis, there is a point that you don't ask questions," lanjut Tjia.

Tetapi mereka menutup perdebatan itu tanpa kata sepakat.

Tetapi topik dan perdebatan kontroversial semacam itu, kata Direktur Freedom Institute Nirwan Arsuka, sudah biasa dalam klub sains mereka.

"Banyak yang merasa perlu mempertemukan apa yang mereka jumpai dalam sains dengan dunia yang mereka kenal terutama dunia religius dan budaya," kata Nirwan kepada Beritasatu.com.

Meski demikian, aku Nirwan, pembicaraan dan diskusi tentang sains yang tidak terlalu banyak mendapat tempat di ruang publik Tanah Air.

Di Freedom Institute sendiri, seperti yang dituturkan Nirwan, terus diupayakan untuk menggelar diskusi sains secara rutin dengan mengundang sejumlah pakar dalam berbagai bidang ilmu alam. Mereka membicarakan biologi, fisika, psikologi, dan berbagai bidang sains lainnya.

"Kita baru mulai dan akan coba bikin solid saja kelompok-kelompok yang sudah ada," kata Nirwan ketika ditanyai tentang rencana masa depannya.

Memang selain klub sains Freedom Institute, masih ada sekelompok anak muda yang tergabung dalam klub sains Minerva yang juga rutin berkumpul untuk mendiskusikan sains di gedung perpustakaan publik itu.

Klub sains Minerva yang berada di bawah Menrva Foundation for Science and Reason punya cara yang berbeda untuk membicarakan sains. Di dominasi anak-anak muda mereka mencoba mengedepankan tema-tema populer yang dibahas secara saintifik.

"Sekarang kami akan membahas tentang cinta dan seks dari perspektif psikologi evolusi, lalu kemarin kita membahas tentang bahasa juga brain washing dalam perspektif sains," kata Difa Kusumadewi salah satu pendiri dan ketua Minerva ketika ditemui Beritasatu.com akhir pekan lalu.

 Meluruskan Penilaian yang Salah

Ia mendirikan Minerva bersama teman-temannya sekitar satu setengah tahun silam. Ia mengaku tertarik mendirikan komunitas sains karena terusik dengan praktik pengobatan alternatif dan mistis yang menurutnya absurd.

"Gue pengen masyarakat Indoinesia mulai skeptis (terhadap pengobatan alternatif dan mistis), karena skeptis itu merupakan awal dari perkembangan sains," ujar Difa yang baru saja lulus jurusan Teknologi Informasi Institut Teknologi Bandung itu.

Sementara itu Muhammad Ikhwan, Wakil Menrva Foundation for Science and Reason, yang ditemui di tempat terpisah mengaku ia tertarik bergabung di Minerva karena ingin memperkenalkan sains sebagai ilmu yang menyenangkan dan menyadarkan pentingnya sains dalam kehidupan sehari-hari.

"Saya ingin menyebarkan popular sains di Indonesia, karena sains itu menarik. Di sekolah sains mungkin jadi momok karena kita hanya mengenal sisi teoritis. Padahal kalau enggak ada sains kita enggak punya teknologi seperti yang sekarang ini," ujar Iwan yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.

Iwan sendiri berlatar belakang pendidikan marketing dan ia mengaku keterlibatannya di Minerva semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang besar tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang di dunia.

Tetapi bagi Ryu Hasan, seorang dokter pakar bedah syaraf, yang sering menjadi narasumber komunitas sains Minerva, membicarakan sains tidak hanya berhenti pada mempopulerkannya. Menurutnya sains bisa menjadi alat untuk meluruskan semua penilaian yang salah di tengah masyarakat.

"Urgensi mempopulerkan sains karena seringkali penilaian di masyarakat itu didasarkan pada pengetahuan yang salah," kata Ryu.

Contohnya, ujar dia, tentang orientasi seksual dan jenis kelamin. Berdasarkan ilmu kedokteran yang dipelajari Ryu, orientasi seksual telah tercetak dalam otak manusia sejak berada di dalam kandungan.

"Itu hanya sekedar variasi genetik, bukan penyakit, bukan kelainan. Dia (orang dengan orientasi seks berbeda) juga tidak berbuat apa-apa. Dia juga tidak minta untuk dilahirkan seperti itu. Orientasi seksual sudah tercetak di otak sejak dalam kandungan," papar Ryu.

"Bagaimana orang yang suka manis mengatakan orang yang tidak suka manis sebagai sesat? Kan tidak bisa begitu," ia menutup penjelasannya.


 Bangsa Buta Sains

"Sementara kita semua puas dengan asal bisa dapat duit lalu beli handphone buatan orang asing. Kok kita puas dengan begitu? Dimana kebanggaan kita? Egggak ngerti saya," Tjia May On.

Di balik podium kecil yang kaku Tjia May On menyandarkan tubuhnya yang ringkih. Berkali-kali dia melempar senyum sementara suaranya yang serak terus fasih menggambarkan salah satu cacat utama bangsa ini. Syarat utama yang menurutnya menyebabkan bangsa ini sukar untuk bersaing dengan negara-negara maju lain di dunia.

"Masalah kita adalah scientific iliteracy," ucap Tjia lirih, memulai diskusi klub sains di gedung perpustakaan publik Freedom Institute, di bilangan Jakarta Pusat, Rabu malam (10/10).

Malam itu Guru Besar Fisika di bidang partikel kuantum dan kosmologi relativistik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu memang bicara soal "Budaya Riset dan Situasi Mutakhir Fisika".

"Orang tidak paham sains itu apa. Tidak paham apa kontribusi sains dalam kemajuan bangsa dan negara. Tidak paham bagaimana cara untuk memajukan sains," keluh lelaki yang lahir di Probolinggo 77 tahun silam itu di hadapan kurang dari 30 orang peserta diskusi malam itu.

Sains, menurut Tjia, merupakan landasan dasar dalam pembangunan. Tjia mengatakan negara yang kuat adalah yang mempunyai ekonomi dan industri yang maju. Ekonomi dan industri bisa berkembang jika ditunjang oleh riset dan pengembangan yang menghasilkan produk unggulan.

Tjia mengatakan negara-negara besar bisa menguasai pasar dunia karena mereka menguasai teknologi dan menghasilkan apa yang disebut Tjia "leading edge product".

Industri yang dimiliki Indonesia dewasa ini, nilai Tjia, bukan industri yang ditopang riset dan buah pemikiran lokal. Ia menyebut industri di Tanah Air sebagai "sekumpulan pabrik" yang menjiplak teknologi bangsa asing dengan modal lisensi.

"Sementara kita semua puas dengan asal bisa dapat duit lalu beli ponsel buatan orang asing. Kok kita puas dengan begitu? Dimana kebanggaan kita? Egggak ngerti saya," ketus Tjia dalam logat Jawa yang kental.

 Krisis Budaya Riset

Ketidakpahaman akan pentingnya sains itu ditambah dengan krisis kronis dalam budaya riset di Indonesia. Sistem pendidikan pun tidak mendukung berkembangnya sains bermutu internasional. Itu terbukti masih kurangnya insentif, fasilitas, serta rumitnya birokrasi tetek untuk mengembangkan riset yang mumpuni di Tanah Air.

Hal itu diperparah dengan mandulnya para ilmuwan lokal dalam mempublikasikan karya yang bermutu di jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia. Belum lagi praktek plagiarisme dan pemalsuan data yang kian marak di tengah ilmuwan lokal.

Selain itu, menurut Tjia, kesadaran dunia industri untuk membangun basis riset dan pengembangan di Indonesia juga masih rendah. Padahal itu bisa mendukung proses industri dalam jangka waktu panjang serta lebih efisien.

Tjia mencontohkan Jepang dengan program Erato (Exploratory Research for Advanced Technology) yang sukses membawa negara itu menjadi salah satu penguasa perekonomian dunia. Erato adalan program pendanaan riset di Jepang yang telah berjalan sejak 1981 dan berlangsung hingga kini.

Dalam program itu Jepang merekrut para ilmuwan terbaik dari segala bidang, dari dalam dan luar negeri, untuk melakukan riset yang bisa menghasilkan teknologi dan tren baru di dunia. Setiap proyek diberi waktu lima tahun untuk dirampungkan.

Dana yang dikeluarkan Jepang untuk riset di bidang sains sejak program itu bahkan 40 persen lebih tinggi dari yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk program sejenis.

"Para ilmuwan itu hanya perlu memasukan proposal dua halaman. Bandingkan dengan di Indonesia yang harus beratus-ratus halaman, sampai akhirnya malah enggak jadi penelitiannya," seloroh Tjia ringan.

Sayangnya, menurut Tjia, seruan tentang pentingnya sains dan budaya riset di Indonesia tidak pernah ditanggapi serius meski sudah sering disampaikan dalam berbagai kesempatan.

"Kalau istilah Inggrisnya, it didn't ring the bell," ujar Tjia.

Ia berharap dengan forum diskusi dalam klub sains Freedom Institute itu seruannya itu lebih bisa bergema dan mencuri perhatian banyak orang, termasuk para pengambil keputusan di negeri ini.


 Cinta Dalam Relung Sains

Mekanisme yang tidak terhindarkan dalam seleksi alam untuk menjamin eksistensi manusia.

Benarkah cinta itu gelora emosi yang paling misterius yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya? Kalau kata para pakar sains, tidak demikian juga.

Cinta, misalnya di mata para pegiat studi psikologi evolusi, hanya salah satu cara otak menipu manusia. Cinta tidak lebih dari mekanisme yang tidak terhindarkan dalam seleksi alam untuk menjamin eksistensi manusia tetap terjaga.

Pemikiran tentang cinta dipetik dari gagasan yang dijabarkan Sabda SP nara sumber diskusi santai klub sains Minerva Jumat malam (12/10) silam di teras Kafe Freedom Institute, Jakarta Pusat.

Sabda, yang menekuni studi asal-muasal perilaku manusia lewat kuliah online di Oxford University itu, menjelaskan perilaku jatuh cinta pada manusia dipicu oleh adanya dimorfisme seksual pada lelaki dan perempuan. Maksudnya, antara lelaki dan perempuan terdapat perbedaan ciri seksualitas.

"Perbedaan ini sangat tipikal pada mahluk vivipar, yang melakukan pembuahan di dalam tubuh," tutur Sabda di tengah kurang dari 20 peserta diskusi yang rata-rata masih berusia muda.

Perbedaan yang dimaksud lebih fokus pada soal sperma dan sel telur. Laki-laki bisa memproduksi jutaan sperma, hampir pada setiap saat, dan tidak dibatasi oleh usia.

"Sedangkan untuk cewek enggak semurah itu," tutur lelaki berjenggot tebal itu ringan. "Produksi telur cewek terbatas dan hanya sampai menopause. Jadi lebih mahal, karena enggak banyak yang bisa diproduksi."

 Parental Investment

Belum lagi ditambah resiko ketika hamil dan membesarkan bayi yang membutuhkan banyak waktu, tenaga, dan sumber daya bagi perempuan. Perbedaan ini, lanjut Sabda, menyebabkan adanya asimetri dalam parental investment antara lelaki dan perempuan.

"Parental investment di cewek lebih besar karena dia harus produksi sel telur, hamil sembilan bulan, dia juga harus menyusui dan merawat anaknya hingga beberapa tahun. Biasaya selama kehamilan dan anak balita, si cewek boleh dibilang enggak bisa ngapain lagi kecuali urusin anak," papar Sabda.

Sementara bagi lelaki hampir sangat sedikit pengorbanan yang dibuat untuk menjalani perannya merawat keturunannya yang akan menjaga eksistensinya di dunia.

"Konsekuensi logis dari perbedaan pada parental investment itu menghasilkan strategi survival berbeda antara lelaki dan perempuan," sambung Sabda yang juga pendiri sekaligus pengajar di lembaga edukasi multimedia Zenius.

Perempuan, menurutnya, akan sangat membutuhkan informasi genetik tentang sperma, sumber daya, dan proteksi dari lelaki yang akan menjadi pasangannya. Itu dibutuhkan untuk memastikan terjadinya pembuahan terhadap telurnya yang terbatas dan untuk membesarkan anaknya kelak.

Sedang lelaki hanya membutuhkan perempuan yang mau berhubungan dengannya dan ikatan yang disebut peer bonding.

Alhasil perempuan akan lebih selektif dan menetapkan standar tinggi ketimbang lelaki dalam memilih pasangannya. Perempuan sangat berkepentingan dalam hal ini karena ia harus memastikan anaknya kelak punya peluang hidup yang lebih besar.

Tetapi tidak berarti lelaki lantas, meminjam istilah Sabda, "ber-one night stand" dengan rekan perempuannya.

"Dalam sebuah penelitian ternyata bayi yang dibesarkan oleh sepasang orang tua ternyata punya peluang hidup lebih besar ketimbang yang hanya oleh satu orang," ulas Sabda.

Fakta empiris inilah yang kemudian, dalam proses yang berjalan selama jutaan tahun, menjadi tekanan evolusi yang menciptakan peer bonding atau yang lebih populer disebut cinta. Dengan cinta maka keberlangsungan hidup manusia bisa terjaga.

"Jadi cinta adalah cara otak menipu kita semua agar kita melakukan satu peer bonding. Karena peer bonding akan meningkatkan peluang hidup bayi," seru Sabda.

Hanya sayangnya, menurut Sabda, dalam sejumlah penelitian hormon yang disebut hormon cinta pada manusia hanya bisa bertahan selama tiga sampai lima tahun. Setelah hormon itu habis pasangan yang tadinya dimabuk cinta akan mulai renggang.

"Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa ketika hormon ini habis maka ada semacam pemicu, khususnya pada cowok, untuk mencari segala sesuatu yang negatif pada pasangan perempuannya dan akhirnya memicu konflik."

© Berita Satu

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...