Thursday, 7 October 2010

Kereta Api Lebih Aman Pakai Sistem GPS

Kecelakaan kereta api dapat terjadi, antara lain, karena amblesnya rel, rusaknya sistem persinyalan, dan kelalaian petugas, baik masinis maupun penjaga perlintasan. Masalah tersebut dapat diatasi di antaranya dengan menerapkan global positioning system.

Sebagai salah satu sistem satelit navigasi yang banyak digunakan di dunia, global positioning system (GPS) selama ini biasa digunakan untuk mendukung lalu lintas di jalan raya, laut, dan udara. Belakangan, sarana tersebut diuji coba tim peneliti Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung untuk mendeteksi pergerakan kereta api (KA).

Sistem ini dimanfaatkan untuk memantau posisi dan kecepatan KA secara kontinu dengan selang waktu yang diinginkan. Ada beberapa bentuk arsitektur sistem yang dapat diimplementasikan untuk memantau pergerakannya, ungkap Hasanuddin Z Abidin, Ketua Kelompok Keilmuan Geodesi ITB.

Untuk itu, kereta yang akan dipantau harus dilengkapi dengan alat penerima (receiver) sinyal GPS. Posisi dan kecepatan KA dikirim oleh satelit GPS secara periodik dan otomatis dalam hitungan detik atau lebih, sesuai kebutuhan, ke pusat pengontrol untuk kemudian ditampilkan pada peta elektronik atau digital di layar monitor.

Dengan mengamati pergerakan semua KA pada sistem peta elektronik secara kontinu dari waktu ke waktu, petugas di pusat pengontrol mudah mengelola secara terpadu pergerakan kereta api. ”Untuk lebih meningkatkan sistem pengamanan pergerakan kereta, sistem visualisasi ini sebaiknya ditempatkan di ruang masinis dan di stasiun tertentu yang akan dilalui kereta tersebut,” kata Hasanuddin, Guru Besar Geodesi ITB.

Apabila pergerakan ditampilkan langsung di peta digital yang ditempatkan di ruang masinis (setiap lokomotif), di stasiun, dan kantor pusat PT KA, semua pihak yang berkepentingan dapat mengetahui pergerakan KA dari waktu ke waktu.

Menurut Hasanuddin, akan lebih baik jika sistem pelacakan ini langsung terkait dengan sistem pengereman otomatis KA. ”Kalau dua kereta berada dalam satu jalur dan akan terjadi tabrakan, sistem tracking secara otomatis menjalankan sistem rem kereta api meski masinis sedang tidak di ruang masinis,” kata Hasanuddin.

Uji coba lapangan

Pengkajian kinerja sistem yang menentukan posisi KA secara kinematik dilaksanakan beberapa tahun lalu pada jalur Bandung-Jakarta pergi pulang (pp). Survei sesi pertama dilakukan pada siang hari dengan menggunakan KA penumpang Parahyangan jurusan Bandung-Gambir pp dan survei sesi kedua dilakukan pada malam hari dengan menggunakan kereta api barang jurusan Gedebage-Tanjung Priok pp.

Dalam penelitian ini, untuk mengecek ketelitian posisi diferensial digunakan tiga stasiun referensi yang ditempatkan di Kampus ITB, Bandung; Jatiluhur, Purwakarta; dan Kwitang, Jakarta. Ketiga stasiun ini telah diketahui koordinatnya.

Pengamatan satelit GPS di ketiga stasiun referensi dan KA menggunakan sistem penerima GPS tipe geodetik dua frekuensi. Antena GPS dipasang di bagian depan atas lokomotif. Koordinat relatif KA terhadap stasiun referensi dari waktu ke waktu diketahui dengan mengolah data GPS. Dalam penelitian ini perlu ditetapkan konfigurasi satelit yang sesuai sepanjang jalur KA Bandung-Jakarta.

”Posisi absolut kereta dalam tampilan tiga dimensi minimal memerlukan empat satelit dan untuk dua dimensi horizontal minimal perlu tiga satelit,” ujar Hasanuddin yang melakukan uji coba pemantauan itu bersama Najib Faizal dari Kelompok Keilmuan Geodesi ITB.

Penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah satelit dipengaruhi oleh perubahan konstelasi satelit GPS dengan waktu. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi topografi, pepohonan, serta bangunan di sepanjang rute perjalanan KA.

Secara umum, keberadaan satelit GPS pada rute KA Jakarta-Bandung dapat dikatakan baik karena setidaknya 90 persen waktu pengamatan dapat diamati secara kinematik oleh empat atau lebih satelit.

Teknik kinematik yang dikembangkan Hasanuddin yang meraih doktor dari Universitas New Brunswick, Kanada, itu lebih baik dibandingkan dengan sistem lama atau statik. Kelebihannya adalah pada kecepatan penentuan posisi meski pesawat penerimanya bergerak.

Uji coba di laboratorium menunjukkan, kecepatan penentuan posisi berada pada orde detik, yaitu sekitar dua hingga tiga detik. ”Dalam kondisi diam saja receiver dengan metode lama memerlukan waktu setengah hingga satu jam,” ungkapnya.

Dari hasil studi awal ini disimpulkan, sistem pemantauan pergerakan KA dengan GPS berprospek baik untuk diterapkan pada jalur KA Bandung-Jakarta.

Riset unggulan

Aplikasi GPS telah dimulai di Indonesia melalui program Riset Unggulan Terpadu. Program ini dilaksanakan oleh Jurusan Geodesi ITB bekerja sama dengan Pusat Ilmu Komputer ITB untuk menerapkan GPS pada sistem pengelolaan transportasi.

Uji coba dilakukan pada armada taksi di Jakarta. Dengan sistem ini, gerakan seluruh armada taksi dapat terpantau dari pusat pengendali. Dengan mengoperasikan sistem satelit navigasi, pemantauan posisi dan pergerakan suatu obyek di permukaan bumi dan di atmosfer memang dapat dilakukan.

Sistem satelit navigasi yang paling banyak digunakan adalah Navstar-GPS (navigation satellite timing and ranging-global positioning system), yang biasa disebut GPS saja.

Satelit GPS milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat pertama kali diluncurkan pada 1978. Sistem ini terdiri dari konfigurasi 24 satelit yang melayang pada ketinggian 20.000 km. Di dalamnya termuat radio navigasi dan fasilitas penerima sinyal untuk menentukan posisi obyek. Penggunaan satelit GPS untuk tujuan sipil dimulai pada 1982.

Di Indonesia, aplikasinya, antara lain, untuk bidang geologi: deformasi gunung api, penurunan tanah, pergerakan tanah lereng, serta aktivitas tektonik di sejumlah lokasi di Indonesia. Alat GPS juga dimanfaatkan Badan Pertanahan Nasional untuk menetapkan titik persil.

Sebagai sistem satelit navigasi global, GPS bukan satu-satunya sistem di ruang angkasa. Ada Glonass milik Rusia yang memiliki 19 satelit, tetapi bentuknya konservatif.(Yuni Ikawati)


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...