Sukoharjo, Kompas - Restrukturisasi industri tekstil dan produk tekstil masih perlu dilanjutkan guna mengatasi ketertinggalan Indonesia. Bantuan permesinan tekstil yang dilakukan pemerintah masih belum sepenuhnya mampu meningkatkan daya saing industri tekstil.
Presiden PT Sri Rejeki Isman, Iwan Setiawan Lukminto, di Sukoharjo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu, mengatakan, ”Restrukturisasi kini merupakan jawaban atas keresahan industri TPT (tekstil dan produk tekstil). Tanpa komitmen pemerintah, industri tekstil akan semakin sulit berdaya saing di pasar global.”
Geliat industri tekstil terlihat di dua pabrik tekstil yang bekerja komprehensif, mulai dari pembuatan benang, kain hingga garmen atau pakaian jadi. Tuntutan permintaan pasar dirasakan semakin membutuhkan peningkatan kualitas. Perusahaan yang dikenal dengan sebutan Sritex yang banyak menangani pesanan ekspor, khususnya seragam militer mancanegara, itu kian dituntut mampu menghasilkan sesuai kebutuhan konsumen global.
Dalam program restrukturisasi mesin tekstil, Sritex telah menerima bantuan pemerintah sejak tahun 2007 untuk peremajaan mesin tekstil. Selama tiga tahun berturut-turut (2007- 2009), Sritex telah mendapatkan stimulans dari pemerintah berupa potongan harga pembelian mesin tekstil sebesar Rp 5 miliar per tahun. Tahun 2010, karena semakin besarnya peserta program restrukturisasi, Sritex memperoleh bantuan senilai Rp 2,93 miliar. Dari bantuan tersebut, Sritex secara total telah memperbesar investasinya senilai Rp 218,89 miliar.
”Berkat stimulus pemerintah, industri tekstil seakan mendapatkan napas baru. Sebab, selama ini industri tekstil umumnya sulit mendapatkan permodalan dari perbankan. Perbankan belum terbuka terhadap industri tekstil,” ujar Iwan.
Menurut dia, stimulus ini sangat membantu produsen. Namun, pemerintah perlu lebih serius memperbesar lagi stimulus yang diberikan mengingat kemajuan industri tekstil akan mencerminkan produktivitas dan peningkatan jumlah tenaga kerja.
Hal senada diungkapkan Presiden PT Danliris Michelle Tjokrosaputro. Sejak krisis melanda, industri tekstil dihadapkan pada sulitnya meremajakan mesin. ”Jangankan mengganti mesin baru, mengganti suku cadang mesin saja mesti berpikir 1.000 kali. Suku cadang mesin tekstil bisa mencapai 50.000 dollar AS (sekitar Rp 450 juta) per unit, sedangkan suku cadang garmen bisa 1.000 dollar AS,” katanya.
Direktur PT Danliris Djoko Santosa mengatakan, sejak terjadi krisis moneter, industri tekstil yang dahulu merupakan primadona di negara ini justru terpuruk dan kurang diperhatikan pemerintah. Banyak industri tekstil menunggu gulung tikar.
”Untuk bisa bertahan, industri tekstil yang kesulitan keuangan hanya bisa melakukan kanibalisme dari mesin yang satu ke mesin lainnya,” kata Djoko.
Dalam program restrukturisasi, Danliris memperoleh stimulus pemotongan harga mesin tekstil mulai tahun 2008 sebesar Rp 287 juta, tahun 2009 sebesar Rp 1,23 miliar, dan tahun 2010 Rp 493 juta. Dari seluruh stimulus itu, Danliris mampu meningkatkan investasi Rp 20,165 miliar.
Bahan baku dan bunga
Direktur Sandang dan Aneka Kementerian Perindustrian Budi Imawan dalam kunjungan kerjanya mengatakan, problematika industri tekstil sesungguhnya terjadi di pasar domestik yang kini semakin tergerus oleh produk ilegal. Tidak dapat dimungkiri terjadi mengingat tingkat pendapatan masyarakat masih rendah sehingga sulit menjangkau produk industri domestik.
Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian Ariyanto Sagala mengatakan, restrukturisasi mesin tekstil bukan sekadar mengganti mesin dengan teknologi terbaru. Dari pengamatan, produksi rata-rata bisa naik 15-28 persen, penghematan listrik 6-8 persen, dan kini kecepatan operasional mesin naik 7-17 persen.
”Problematika yang masih dihadapi adalah ketersediaan bahan baku katun yang umumnya 99 persen bergantung pada impor. Selain itu, suku bunga perbankan juga tidak kompetitif. Bunga kredit di China bisa 4 persen, sedangkan Indonesia masih dua digit,” ujar Ariyanto.
Tahun 2010, pemerintah menargetkan pertumbuhan industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki sebesar 2,15 persen. Hingga triwulan II-2010, realisasi pertumbuhan industri pengolahan ini minus 0,09 persen. (OSA)• KOMPAS
0 comments:
Post a Comment