Sunday, 24 October 2010

Mengubah Limbah Udang Menjadi Obat

Emil Salim Award
Prof. Emil Salim memberikan piala kepada juara I Kategori II, Claudia Windasari Wijaya dalam acara Penghargaan Emil Salim bagi Generasi Muda di Balairung gedung Sapta Pesona, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, Minggu (24/10/2010). 24 proposal project dari 226 proposal dipilih menjadi finalis dan enam peserta terbaik menerima Penghargaan Emil Salim bagi Generasi Muda.

KOMPAS.com - Limbah udang adalah salah satu limbah yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Tiap daerah pesisir yang memanen udang untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan bisa menghasilkan berton-ton limbah. Limbah itu biasanya dibuang begitu saja atau kalaupun diekspor dengan harga sangat murah. Padahal, limbah yang terbuang ke perairan bisa merugikan lingkungan.

"Limbah udang jika dibuang akan merugikan. Limbah itu akan meningkatkan biological oxygen demand di perairan karena proses penguraiannya sehingga organisme yang ada di perairan itu bisa kekurangan oksigen di waktu tertentu. Selain itu, jika ada penguraian limbah dalam skala besar, hal itu akan berpengaruh pada iklim skala global," ungkap mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.

Dari keprihatinannya, ia lalu mencari-cari referensi di jurnal internasional tentang kandungan-kandungan dari limbah udang yang bisa digunakan dan manfaatnya. Dari pencariannya, ia menemukan bahwa limbah udang mengandung senyawa yang disebut kitin, senyawa karbohidrat kompleks yang terdapat dalam rangka luar udang. Senyawa tersebut jika diolah dengan cara tertentu menjadi suatu senyawa bernama chitosan, akan dapat berfungsi untuk mengobati hiperlipidemia, suatu penyakit kelainan kadar lemak dalam darah yang dapat memicu penyakit mematikan seperti jantung koroner.

Selain itu, ia juga menemukan bahwa limbah udang sebenarnya juga dimanfaatkan di luar negeri. "Limbah udang yang diekspor ke luar negeri ternyata diolah menjadi produk baru, setelah itu produknya diekspor lagi ke Indonesia dan dijual dengan harga mahal," kata Claudia. Hal itu sangat menyakitkan sebab seharusnya warga Indonesia pun bisa mengolahnya.

Dengan bekal ilmu farmasinya, ia berusaha mengolah limbah udang itu menjadi obat hiperlipidemia atau kelebihan lemak (kolesterol dan trigliserida) dalam darah. Ia melakukan serangkaian proses di laboratorium dari pembersihan hingga pengeringan untuk mendapatkan senyawa chitosan yang bisa dimanfaatkan. Untuk melakukannya, ia dibantu oleh beberapa orang teman dan laboran.

Untuk melakukan penelitian itu ternyata bukan hal yang mudah. "Penelitian farmasi menelan dana yang tak sedikit. Saya harus mengupayakannya dengan menjual ini itu untuk memperoleh pendanaan. Untungnya, akhirnya pihak kampus memberikan pendanaan," lanjut Claudia.

Setelah upaya menghasilkan senyawa chitosan tadi, uji laboratorium untuk meneliti keefektifan chitosan pun dilakukan. Ia mempersiapkan 30 tikus putih sebagai obyek uji. Tikus putih yang tersedia dibuat memiliki kadar lemak yang tinggi hingga terlihat gemuk dan menunjukkan kadar lmak yang tinggi dalam tes darah.

Hasil dari uji laboratorium itu menunjukkan bahwa penggunaan chitosan dari limbah udang ini menunjukkan hasil yang baik. Kandungan lemak dalam darahbtikus berkurang dan pengurangannya tak jauhb beda dengan pengurangan ketika meminum obat yang diresepkan doktek. "Ini berarti bahwa chitosan yang diberikan cukup berkhasiat," ujar claudia.

Chitosan yang dipakai dalam percobaan telah dibentuk kapsul. Menurut claudia, hal itu tak mengurangi khasiat dari chitosan. Sebaliknya itu mempunyai manfaat dalam kepraktisannya. "Jika nanti diproduksi untuk manusia, chitosan akan lebih praktis dan orang mau meminumnya. Kalau mengkonsumsi chitosannya langsung, orang kan cenderung malas," kata Claudia menjelaskan.

Penggunaan chitosan dalam pengobatan hiperlipidemia akan menguntungkan dalam hal biaya. "Sekali minum obat paten, orang menghabiskan 11.000 jadi jika sehari minum 3 kali akan menghabiskan 33.000. Kalau dengan chitosan ini, sekali minum hanya 3.000 sehingga 3 kali minum 9.000," jelas Claudia. Dengan demikian, chitosan bisa dikonsumsi oleh lebih banyak orang.

Claudia mengungkapkan kini ia tengah berupaya untuk mendapatkan hak paten dari produknya. Selain itu, ia juga sedang mencari referensi dari berbagai jurnal sehingga chotosan dapat diujikan keefektifannya pada manusia. Ke depan, ia juga berupaya untuk mendapatkan ijin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) untuk mengedarkan obatnya. Konsumsi chitosan ini, seperti obat alami lainnya, jika digunakan dalam jumlah yang tepat takkan menimbulkan efek samping.

Atas penelitiannya itu, Claudia memenangkan Emil Salim Awards dari Program Climate Smart Leader, program yang diselenggarakan Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (YPB) dalam rangka menjaring anak-anak muda yang berkomitmen untuk melestarikan lingkungan agar dapat menjalankan visi misinya. Penghargaan Emil Salim Award diterimanya di Balai Sapta Pesona, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta, Minggu (24/10/2010) kemarin.

Terkait dengan orientasi ke depannya, claudia mengungkapkan keinginannya untuk menjadikan temuannya sebagai dasar bisnis, atau yang ia sebut dengan social entrepreneurship. Lewat bisnis itu, ia berharap bahwa bisnis ini bisa memberdayakan dan memberi lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Setelah mengikuti Climate Smart Leader, ia mengaku bahwa banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan untuk melestarikan lingkungan. "Selama kita memiliki komitmen untuk lingkungan, kita bisa melakukannya," tandasnya dengan penuh semangat.

Agar dapat memperluas visi misinya, ia juga mendirikan d'Young Greens, sebuah klub yang berupaya untuk memotivasi dan mengumpulkan anak muda agar peduli dengan lingkungannya. Ia melakukan berbagai cara sehingga klub yang diprakarsainya bisa lebih dikenal, misalnya dengan membuat stiker dan kalender. Well, selamat berjuang!


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...