Sunday, 24 October 2010

Mirza Akbar dan Es Krim Praktikum

TEMPO Interaktif, Jakarta - Siapa sangka, dari mengikuti praktikum pengelolaan susu, muncul ide berbisnis es krim. Terlebih lagi bisnis yang dikelolanya dengan pola kemitraan itu diganjar penghargaan Shell LiveWIRE Business Start-Up Awards 2010. Itulah yang dialami Mirza Akbar, mahasiswa Jurusan Ilmu dan Industri Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Mirza dan teman sekampusnya, Arum Dewi Suci, mendapatkan penghargaan pada Agustus lalu. Mereka dipilih di antara 378 tim yang mengikuti kompetisi itu. Berkat kemenangan itu, keduanya meraih Rp 20 juta dan pembinaan selama dua tahun.

Berbisnis di bidang teknologi hasil ternak sudah menarik minat Mirza sejak dulu. "Sejak SMA, saya tertarik kepada peternakan," ujarnya saat dihubungi pada Jumat dua pekan lalu.

Keinginannya makin kuat setelah terdesak soal keuangan sebagai anak kos. Pemuda 22 tahun itu merasa kiriman orang tuanya setiap bulan sekitar Rp 700 ribu tak mencukupi. Ia maklum karena pendapatan keluarga hanya ditopang sang ayah, Jasmin, yang berstatus pegawai negeri di Kementerian Kehutanan. Padahal Mirza masih memiliki dua adik. "Tidak mungkin minta tambahan biaya," ucapnya.

Kondisi ini membuat Mirza bertekad untuk bisa mandiri pada tahun keduanya kuliah. Tapi, untuk memulai bisnis, pemuda asal Bekasi, Jawa Barat, ini terhambat modal. Mirza memberanikan diri menyampaikan keinginannya kepada ayahnya. Dia meminta sejumlah modal. Untuk memuluskan rencananya, Mirza berjanji tak akan meminta biaya apa pun, termasuk biaya kuliah.

Meski tak punya modal, Jasmin membantu mencarikan modal. Beruntung Jasmin mendapatkan bantuan dari rekan lamanya sebesar Rp 29 juta. Ayahnya meminta Mirza memegang janji. Selesai masalah modal, kendala berikutnya adalah tempat usaha. Mirza melobi pengurus fakultas peternakan.

"Saya minta diberi tempat usaha di fakultas," katanya. Satu bulan setelah melobi, wakil dekan mengizinkan Mirza berjualan di pinggir kantin fakultas. "Ukurannya sangat kecil," katanya. Tempat usaha dengan luas 1 x 1 meter persegi itu selalu terkena terik matahari kalau panas dan tertimpa air jika hujan. Tapi ia berkukuh berjualan.

Mirza membuat sendiri es krimnya. Es krim racikannya terdiri atas 90 persen susu, sisanya formula pelembut dan beragam perasa. Kala itu ia hanya mampu mengolah 2 liter susu sapi asli. Mirza mulai berjualan sejak April dua tahun lalu.

Selama dua pekan, dagangannya ludes. "Rasanya enak," begitu kata teman-temannya. Selain rasa, menurut Mirza, harga es krim dibanderol Rp 1.500 per cup itu dianggap murah.

Memasuki bulan kedua, kampus mulai sepi karena ujian dan libur. Kondisi ini membuat es krim Mirza sepi pelanggan. Tapi ia tetap bertahan. "Yang penting tidak merugi," katanya. Mirza memprediksi omzetnya bakal terkerek kembali setelah masa libur berakhir.

Prediksi itu meleset. Omzetnya tetap saja seret, meski tak rugi. Mirza mengaku omzetnya Rp 400 ribu per bulan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Keadaan ini berlangsung selama enam bulan. "Saya harus mengirit makan," katanya.

Kesulitan ini membuatnya berencana menjual mesin pembuat es krim. Ibunya, Sri Rahayu Ningsih, mendengar kepedihannya. Sempat terlontar belas kasih ibunya, namun Mirza selalu ingat janji bahwa dia akan hidup mandiri. Janjinya itu mampu mengalahkan rasa galaunya. "Kalau saya menjual mesin, maka saya kalah," katanya.

Ia putar otak bagaimana usahanya tak didikte waktu. Dia memberanikan diri menghubungi pemilik resto yang tersohor, Yogya Chicken. Pilihan kepada resto itu karena ramai sepanjang waktu. "Tak dipengaruhi liburan atau cuaca," ujarnya.

Tak butuh waktu lama bagi Mirza melobi si pemilik resto. Dia diizinkan berjualan di gerai-gerai resto itu. Mulai saat itu, Mirza menjual es krimnya dengan label Yogya Es Krim.

Keuangan Mirza membaik. Dia mulai merekrut Arum Dewi Suci, rekan kuliahnya, dalam bisnis es krim. "Sebagai pengatur keuangan," ujar Arum. Tak puas atas satu resto, Mirza merambah ke resto Waroeng Steak & Shake. Lagi-lagi Mirza beruntung, pemilik resto tak keberatan dengan penawarannya.

Usaha Mirza terus berkembang. Selain di resto, Mirza memiliki gerai di 10 kantin sekolah. "Cukup dengan menempatkan lemari pembeku," katanya. Sekolah-sekolah itu di antaranya SMA 1, SMA 3, dan SMA Muhammadiyah 2, Yogyakarta.

Selain itu, Mirza menerima pesanan, tidak hanya konsumen, tapi juga produsen katering. Ia memberi kemudahan dengan pola kemitraan, yakni bisa memenuhi permintaan melabeli es krimnya sesuai dengan label si pemesan. "Mereknya fleksibel," katanya.

Kini 240 liter susu diolahnya saban hari. Es krim olahannya tersebar di 15 cabang resto Yogya Chicken dan 5 cabang Waroeng Steak & Shake. Ia luwes membagi keuntungan. Setiap es krim yang laku dipotong Rp 100 untuk karyawan di resto-resto itu.

Ia pun tak kerja sendirian lagi. Ada tiga karyawan yang dipekerjakannya untuk memproduksi dan mendistribusikan. Omzetnya mencapai Rp 80 juta per bulan. Dari jumlah itu, Rp 15 juta adalah keuntungan bersih. "Saya bisa membantu biaya kuliah adik," ujarnya.

Meski berlimpah penghasilan, Mirza tak bermewah-mewah. Dia memilih mengembangkan usahanya. Karena hanya tersebar di Yogyakarta, Mirza berusaha es krimnya bisa dinikmati di kota lain. "Sedang dikembangkan," ujarnya.

Begitu cintanya pada bidang peternakan, Mirza bercita-cita membuat produk dari hasil peternakan yang diminati semua masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu, Mirza berprinsip, "Jika ingin alasan, lupakan sukses. Jika ingin sukses, lupakan alasan." (Akbar Tri Kurniawan)


TEMPOInteraktif

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...