Wednesday, 17 November 2010

Bakrie Center & Singapura Dirikan Think Tank

Setelah Carnegie, AS; kini didirikan di Nanyang Technological University.

Anindya Bakrie di Carnegie Endowment, Washington, D.C. (Hersubeno Arief)

VIVAnews – Kamis pagi, 18 November 2010, akan berlangsung peluncuran Bakrie Professorship in Southeast Asia Policy dan Bakrie Graduate Fellowship di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University. Acara bertempat di Chinese Heritage Center, Singapura. Bertindak sebagai tuan rumah adalah RSIS. Nama fakultas ini berasal dari nama menteri luar negeri Singapura yang pertama dan Perdana Menteri Singapura 1980-85, Sinnathamby Rajaratnam.

Sore hari, acara dilanjutkan dengan Kuliah Umum Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie berjudul "The World in Indonesia, Indonesia in the World". Turut memberikan sambutan adalah Dekan RSIS, Barry Desker.

Bakrie Fellowship dan Professorship merupakan program dari Bakrie Center Foundation (BCF)—lembaga nirlaga yang dibentuk Kelompok Usaha Bakrie dan memfokuskan diri di bidang pendidikan dan riset.

Dijelaskan pendiri dan ketua umumnya, Anindya Novyan Bakrie, 36 tahun, BCF memiliki dua program. Yang pertama adalah Bakrie Graduate Fellowship. Ini program beasiswa untuk mahasiswa tingkat pascasarjana. Program kedua adalah lembaga riset kebijakan. Bekerja sama dengan RSIS, badan kajian ini dinamakan Bakrie Professorship for Southeast Asian Studies yang khusus bergerak di bidang riset kebijakan strategis di kawasan Asia Tenggara.

Yang menarik, pendanaan lembaga ini bukan hanya disokong Bakrie Center, tapi juga oleh Pemerintah Singapura. Sejak awal, kata Anin (nama panggilan Anindya), skema dana abadinya disepakati berupa matching-fund. Pemerintah Singapura menyalurkan dana dengan formula one to one. Untuk setiap dolar yang disumbangkan Bakrie Center, Pemerintah Singapura akan urun dana dengan nilai yang sama.

Menjawab pertanyaan wartawan soal jumlahnya, Anin mengatakan, “Kami menyumbangkan Sin$3 juta (sekitar Rp18 miliar) untuk dana abadi, Pemerintah Singapura juga berkontribusi sejumlah itu.” Dana Bakrie Center bukan diambil dari bujet CSR kelompok usaha Bakrie, tapi dari dana pribadi keluarga Bakrie.

Adapun beasiswa Bakrie Graduate Fellowship diberikan bagi mahasiswa untuk menempuh kuliah jenjang master baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia, Bakrie Center telah menjalin kerjasama antara lain dengan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada. Sedangkan di luar negeri dengan Stanford University di Amerika Serikat; dan Nanyang Technological University di Singapura.

"Insya Allah, kami akan memberikan 1.000 beasiswa dalam kurun waktu 10 tahun," kata Anin, dalam jumpa pers di Singapura, Rabu, 17 November 2010. Komposisinya, 90 persen di universitas dalam negeri, dan sisanya untuk perguruan tinggi di manca negara.

Besaran beasiswa untuk universitas dalam negeri adalah Rp35-45 juta per tahun, diberikan sampai lulus. Sedangkan untuk universitas di luar negeri sampai US$50 ribu. Beasiswa meliputi uang kuliah, biaya hidup, buku, dan riset.

Apa syaratnya? “Cuma satu,” kata Anin, “Bersedia kembali ke Indonesia dan membangun Indonesia.”

Menurut CEO Bakrie Center, Imbang J. Mangkuto, program beasiswa ini telah direalisir. Untuk angkatan pertama di tahun ajaran 2010-2011, beasiswa diberikan kepada 30 mahasiswa.

Aburizal Bakrie, ayah Anin, yang juga hadir di jumpa pers mengatakan ia mendukung inisiatif ini "karena in line dengan apa yang saya rintis sewaktu menjadi Menko Kesra.” Ketika itu, menyadari keterbatasan anggaran pemerintah, Aburizal mengajak para pengusaha nasional untuk memberikan beasiswa untuk mengirim para mahasiswa berprestasi, tapi tak mampu, ke universitas-universitas di dalam maupun luar negeri.

Acara peluncuran BCF di Singapura ini merupakan kelanjutan dari peresmian program Bakrie Chair for Southeast Asian Studies yang bekerja sama dengan Carnegie Endowment for International Peace, salah satu think tank berpengaruh di Washington, D.C., Amerika Serikat pada akhir Juli lalu. Hadir di acara ini antara lain adik tiri Presiden Barack Obama, Maya Soetoro.

Setelah di AS dan Singapura, sedang dijajaki pendirian pusat kajian sejenis di Australia dan China.

Kenapa Bakrie Center

Motivasi Anin mendirikan Bakrie Center datang dari pengalaman pribadinya. Kakeknya, Ahmad Bakrie, adalah seorang pengusaha otodidak yang tak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Generasi kedua Bakrie lulus sebagai sarjana. Aburizal Bakrie, misalnya, merupakan insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Generasi ketiga Bakrie rata-rata mengenyam pendidikan pasca sarjana. Anin sendiri memegang gelar Master of Business Administration dari Stanford University.

“Saya berpikir, sekarang ini, kenapa kita harus menunggu sampai tiga generasi untuk bisa sekolah pasca sarjana,” katanya.

Apalagi, statistik menunjukkan Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara lain di Asia. Negeri ini sekarang hanya melahirkan sekitar 20 ribu sarjana S-2 setahun. Bandingkan dengan India yang 750 ribu dan China yang 800 ribu.

Itu soal beasiswa. Soal lembaga kajian, Anin melihat Indonesia kian menempati posisi strategis, bukan hanya di kawasan ASEAN, tapi juga dunia.

PDB Indonesia sekarang mencapai US$750 miliar atau sekitar 40 persen dari total perekonomian ASEAN. Tak lama lagi, banyak ekonom yang memprediksi, PDB Indonesia sudah akan menjadi sekitar US$1 triliun atau setara dengan 50 persen lebih perekonomian ASEAN.

Merupakan kekuatan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia kini menjadi salah satu anggota G-20, forum 20 negara yang dianggap merepresentasikan kekuatan ekonomi dunia. Dalam percaturan geopolitik, Indonesia dan ASEAN juga dianggap kian penting buat Amerika dan Rusia untuk mengimbangi kekuatan China yang makin dominan. Rincian soal ini ditulis Anin di blog pribadinya.

Masalahnya, Aburizal menambahkan, “Dalam percaturan global saat ini, Indonesia masih berada di bawah radar. Karena itulah, supaya Indonesia bisa segera masuk dalam radar dunia perlu ada pusat kajian yang bisa mempengaruhi para pengambil kebijakan di Washington, D.C. dan Singapura ini.”

Untuk mengantisipasi tantangan global ke depan itulah, kata Anin, pusat-pusat kajian kebijakan itu didirikan. Ada tiga wilayah yang akan digarap: capacity building, perdagangan internasional yang adil dan berimbang, serta institusionalisasi demokrasi.

“Pertumbuhan ekonomi penting, tapi sustainability lebih penting lagi. Karena itu pengembangan demokrasi di kawasan ini sangatlah vital,” kata Anin menutup pembicaraan.


VIVAnews

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...