TEMPO Interaktif, Dua bekas roket Ariane 44L R/B dan Navstar 46 berkejaran di atas angkasa Indonesia. Ariane, berukuran 17 meter persegi, mengambil jalan pintas dengan menyusuri garis ekuator. Sampah satelit ini melayang di atas Aceh, bergerak ke utara Pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan seterusnya menuju Samudra Pasifik.
Roket Navstar, seluas 2,5 meter persegi, memilih jalur yang lebih panjang dan lonjong membentuk garis kurva interval. Dari utara Sumatera, bekas satelit ini menyeberang ke arah Samudra Hindia, melintasi angkasa Australia, dan naik kembali ke Samudra Pasifik.
"Kecepatannya sekitar 3.000 kilometer per jam," kata Thomas Djamaludin, peneliti senior astronomi dan astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Aksi dua bekas roket yang terjadi Rabu, 3 November, lalu pukul 09.43 WIB di ketinggian 7.261 kilometer itu tampak pada layar monitor Sistem Pemantau Benda Jatuh Antariksa di kantor Lapan, Bandung. Tempo ikut menyaksikan keandalan sistem yang pada Oktober lalu baru dipasang untuk menggantikan sistem manual.
Menurut Djamaluddin, dari layar monitor kita bisa melihat pergerakan obyek antariksa satu jam lalu hingga dua jam ke depan. Sistem pemantau real time ini akan memberi peringatan jika benda itu akan jatuh.
Sistem canggih tersebut ternyata hasil rancangan peneliti Abdurrahman dan sejawatnya di Lapan. Mereka memodifikasi perangkat lunak Orbitron yang umum dipakai pemantau benda jatuh di seluruh dunia. Hasilnya, pengamatan dipersempit hanya untuk benda bukan meteor yang berpotensi jatuh di wilayah Indonesia.
Pada layar berlatar warna biru itu, obyek benda jatuh ditandai dengan titik merah. Garis orbitnya berbeda-beda warna sesuai dengan ketinggian benda saat terbang. Legenda garis itu dijelaskan di kotak kiri bawah. Garis orbit berwarna abu-abu menandakan obyek berada 200 kilometer di atas kita.
Untunglah, posisi Ariane dan Navstar yang Tempo saksikan saat itu lebih dari ketinggian tersebut. "Ini masih aman," kata Djamaluddin. Selanjutnya, garis hijau menginformasikan bahwa benda itu berada di ketinggian 150-200 kilometer dan berpotensi jatuh dalam hitungan hari.
Sedangkan pada garis lintasan kuning, berarti ada sampah antariksa yang tengah melayang dengan jarak 120-150 kilometer. "Kalau yang kuning ini, jatuhnya sudah dalam hitungan beberapa jam lagi," ujar Djamaluddin. Status waspada pun mulai diberlakukan.
Garis merah tambah membuat was-was pemantau dan peneliti. Di ketinggian 90-120 kilometer itu, pergerakan sampah antariksa itu sudah wajib dipelototi. Status pun meningkat ke awas. Sebab, kata Djamaluddin, sampah antariksa mulai jatuh di ketinggian 120 kilometer. Jika terus turun hingga kurang dari 90 kilometer, berarti benda tengah meluncur jatuh tertarik gaya gravitasi bumi. "Itu tinggal jatuh dalam hitungan menit saja," ujarnya.
Kepala Pusat Pengembangan Sains Antariksa Lapan Sri Kaloka Prabotosari mengatakan laporan sampah antariksa sesuai dengan prosedur yang disampaikan ke berbagai pihak yang berkepentingan, misalnya kepolisian, militer, dan BNPB, sejak beberapa hari sebelum benda itu jatuh. Tapi, untuk peringatan dini ke masyarakat, Lapan mengaku tak punya mekanismenya.
Masalah itu, kata Djamaluddin, tak hanya dialami Lapan, tapi juga institusi dan peneliti astronomi di seluruh dunia. Sejauh ini mereka hanya bisa memperkirakan area lokasi dan waktu jatuh benda dengan ketidakpastian yang masih cukup tinggi. Dari perkiraan lokasi jatuh, misalnya, rentang jaraknya masih sangat jauh, yaitu hingga 3.000 kilometer.
Djamaluddin mengatakan sulitnya memperkirakan lokasi dan waktu benda jatuh karena ilmuwan di dunia belum bisa membuat model hambatan udara secara akurat. "Berapa pengereman obyek itu oleh udara masih susah diperkirakan," kata lelaki kelahiran Purwokerto berusia 48 tahun itu.
Saat ini bumi diselimuti tak kurang dari 15 ribu sampah antariksa. Ukuran sampah antariksa yang tertangkap radar dan teleskop khusus pemantau benda jatuh mulai 10 sentimeter hingga sebesar bekas stasiun antariksa. Sampah yang menjadi sorotan peneliti selain bendanya berukuran cukup besar, sisa tabung roket berbahan bakar nuklir karena beracun. Beruntung, jumlah sampah antariksa yang jatuh menimpa penduduk masih sedikit.
[ANWAR SISWADI]
• TEMPOInteraktif
Musim Benda Jatuh TEMPO Interaktif, Jakarta - Ada 15 ribu lebih keping sampah antariksa yang sewaktu-waktu jatuh ke bumi. "Musim jatuh benda antariksa biasanya terjadi saat matahari sedang aktif," kata peneliti senior astronomi dan astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin.
Tanda sedang aktif itu ditunjukkan oleh banyaknya bintik hitam (sun spot) yang muncul di permukaan matahari. Semakin banyak bintik, berarti ledakan di matahari cenderung lebih banyak. Aktivitas sang surya itu berdampak pada penebalan atmosfer bumi.
Kerapatan udara itu mengakibatkan perjalanan sampah antariksa mengitari bumi di atmosfer menjadi terhambat, sehingga potensi jatuhnya karena daya tarik bumi lebih besar. Djamaluddin mengibaratkan pelari sprint yang tiba-tiba menghadapi kerumunan orang di lintasan larinya.
Saat matahari sedang aktif, misalnya pada 2000, kata Djamaluddin, hampir setiap hari ada dua sampah antariksa yang jatuh di berbagai penjuru bumi. Tapi, kalau matahari sedang tidak aktif seperti sekarang ini, sampah antariksa yang jatuh sebanyak 1-2 buah setiap minggu. Sejauh ini belum ada penangkal yang jitu, utamanya untuk melindungi permukiman penduduk dari kejatuhan sampah antariksa.
Beberapa negara adidaya pernah berupaya menghancurkan benda jatuh itu dengan roket. Namun tindakan itu banyak dikecam negara lain karena malah menambah jumlah tebaran sampah di bumi. Lagi pula, penembakan itu tak selalu ampuh karena kecepatan jatuh, waktu, dan lokasi benda sampah antariksa masih sulit dihitung secara tepat.[ANWAR SISWADI]
• TEMPOInteraktif
0 comments:
Post a Comment