Ionopolis (Pocari Sweat)
Jakarta - Dewasa ini makin banyak orang tua yang sadar, bahwa kegiatan bermain game bukan hanya kegiatan percuma atau sekedar menghabiskan waktu. Melalui game, proses belajar berlangsung. Belajar dalam arti melatih emosi, motorik, logika, fantasi, bahkan beberapa game memiliki muatan pengetahuan yang tidak didapat di sekolah.
Jika game dimanfaatkan sebagai media pengajaran, proses belajar berlangsung lebih efektif karena game yang didukung bahasa audio visual membantu memudahkan pemahaman dan membangun suasana yang menyenangkan. Selain itu pada umumnya game tidak mendikte, namun memberikan ‘pengalaman’ kepada pemain, yang artinya pemain ikut andil dalam proses belajar.
Cerita dan audio visual yang menarik, disertai komponen rintangan (barrier) juga imbalan(reward), dan hukuman (punishment) dalam game menjadikannya sebuah pengalaman yang menyenangkan.
Di Indonesia, game sebagai media pengajaran menjadi trend di awal tahun 2000an. Sebut saja Bamboo media, Akal Interaktif, Edugames, dan beberapa softwarehouse memproduksi dan menjual game sebagai media pengajaran yang dikemas sebagai CD interaktif.
Game atau permainan bukan hal yang baru di Indonesia. Bangsa Indonesia sebenarnya sejak jaman dulu kala mengenal, menciptakan bahkan memanfaatkan permainan sebagai sebuah media pengajaran.
Sebagai contoh, game atau permainan rakyat Sunda. Permainan rakyat di Sunda jaman dahulu menempati kedudukan yang penting, hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesian yaitu naskah yang berasal dari Kabuyutan Ciburuy yang berada di lereng gunung Cikuray Garut Selatan, menempatkan seorang yang mempunyai keahlian dalam permainan di sejajarkan dengan keahlian lain seperti ahli pantun, ahli karawitan, ahli cerita atau dalang, ahli tempa, ahli ukir, ahli masak, ahli kain dan keahlian lainnya dalam Siksa Kanda Ng Karesian tertulis:
"……..Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; singsawatek (ka) ulinan mah empul tanya….." ("….Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubangubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini: segala macam permainan, tanyalah empul…" ) (Danasamita, Saleh. 1986: 83, 107).
Namun, apakah game hanya milik anak-anak? Manusia pada dasarnya terlahir sebagai homo luden, mahluk bermain. Mahluk yang senantiasa bebas. Mahluk yang merdeka, yang ke-bermainannya erat hubungannya dengan spontanitas, autentisitas, dan aktualisasi dirinya menjadi dirinya seutuh mungkin. Manusia juga memiliki sifat kompetitif yang tinggi, ingin lebih unggul di atas sesamanya, hal ini sejalan dengan sifat permainan pada umumnya, yakni pencapaian prestasi dengan mengungguli lawan atau kemampuan mengatasi rintangan.
Hal itu tidak hanya terjadi pada masa kanak-kanak. Dari penelitian pada 18 Agustus 2009 yang melibatkan Emory and Andrews Universities ditemukan bahwa dari 500 orang dewasa berusia 19 sampai 90 tahun di daerah Seattle dan Tacoma, Washington, Amerika Serikat, sekitar 45 persen dari responden menyebutkan bahwa mereka memainkan game. Dari penelitan juga terungkap bahwa, usia rata-rata gamers dewasa itu berkisar pada 35 tahun. Dari uraian tersebut, maka sesungguhnya, permainan atau game bukan hanya milik anak-anak.
Kekuatan Game Sebagai Kampanye Sebuah Brand
Kekuatan game tidak sekedar memberikan informasi atau pemahaman, namun memberikan kesan mendalam, interaktifitas, pengalaman. Hal ini menjadikan para praktisi periklanan melirik kekuatan game sebagai salah satu media dalam mengkampanyekan produk atau brand yang ditanganinya. Game sebagai media kampanye produk dikenal sebagai advergame, atau game periklanan. Tidak seperti media iklan lainnya dimana kita hanya melihat logo brand atau produk saja, pada advergame, brand menyatu dengan cerita, misi maupun aktifitas lain dalam game.
Adver Game is s video game which in some way contains an advertisement for a product, service, or company. Some advergames are created by a company with the sole purpose of promoting the company itself or one of its products, and the game may be distributed freely as a marketing tool. Other times, an advergame can be a regular popular video game, which may be sponsored by a company, and include advertisements within the game for the sponsoring company; for example you might see a character drink a particular brand of soft drink, or a race car might drive past a billboard advertising a certain snack food. Advergames have become more popular with the rise of the internet.(www.businessdictionary.com)
Para praktisi periklanan dan pemegang merk menyadari bahwa memberikan pengalaman, lebih memberikan dampak yang positif bagi produk yang diiklankan daripada sekedar menginformasikan sebuah produk. Data lapangan yang menyatakan bahwa game juga digemari orang dewasa menjadikan advergame tidak hanya sebagai media iklan produk untuk anak, tetapi juga produk-produk yang memiliki pangsa pasar dewasa.
Salah satu contohnya adalah advergame Ionopolis, sebuah game berbasis social media keluaran Pocari Sweat. Game ini memanfaatkan social media sebagai bagian dari elemen permainan. Sadar atau tidak, pemain mendapatkan informasi produk yang dikemas sebagai bagian dari pengalaman pemain dalam game.
Dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, game ini dimainkan oleh sekitar 17.000 orang, dan saat artikel ini ditulis ada 91.893 facebookers menyukai halaman facebook PocariId. Sebuah angka yang fantastis dan tentu saja sebuah pencapaian bagus untuk kegiatan kampanye produk. Jadi, siapa bilang game hanya untuk main-main?
• detikInet
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment