Tuesday, 19 October 2010

Makna "Minyak Bumi" pada Abad Ke-21

DAHONO FITRIANTO

rare earths

Ketika dunia heboh meributkan mineral langka logam tanah jarang, di manakah posisi Indonesia?

Dalam salah satu krisis diplomatik terburuk antara China dan Jepang setelah Perang Dunia II beberapa pekan lalu, China mengeluarkan kartu truf yang mengagetkan sekaligus menyadarkan dunia. Negara kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia itu ternyata memegang kunci masa depan dunia, yakni cadangan mineral langka yang dinamakan rare earths atau logam tanah jarang (LTJ).

China menguasai 97 persen pasar LTJ, mineral yang dibutuhkan untuk membuat berbagai benda berteknologi tinggi di dunia. Jepang, yang dikenal sebagai negara produsen benda-benda canggih, bergantung hampir 100 persen pada pasokan LTJ dari China.

Pada gilirannya, Amerika Serikat, yang mengandalkan pasokan komponen-komponen teknologi dari Jepang, juga menjadi bergantung pada China. Padahal, di antara benda-benda yang membutuhkan mineral itu adalah berbagai peralatan vital militer, mulai dari sonar kapal perang, alat pembidik meriam tank, hingga perangkat pelacak sasaran pada peluru kendali.

Menurut artikel di majalah The Economist edisi 17 September, keberhasilan China menguasai pasar LTJ dunia adalah buah dari kebijakan visioner mantan pemimpin negara komunis itu, Deng Xiaoping. Lebih dari 30 tahun silam, pada dekade 1960-an, Deng mengatakan bahwa jika negara-negara Timur Tengah memiliki minyak bumi, China mempunyai LTJ.

Mineral langka itu diramalkan akan menjadi ”minyak bumi” abad ke-21 karena arti pentingnya bagi dunia industri. Ramalan yang mulai terbukti benar.

Tahun lalu, permintaan pasar LTJ dunia mencapai 134.000 ton, sementara kapasitas produksinya baru 124.000 ton. Tahun 2012, kebutuhan dunia diperkirakan akan mencapai 180.000 ton.

China sendiri, yang permintaan industri dalam negerinya juga makin tinggi, sudah mulai mengurangi kuota ekspor LTJ-nya. Tahun lalu, China sudah memotong jatah ekspor dari 50.000 ton menjadi hanya 30.000 ton. Juli lalu, Pemerintah China memangkas lagi kuota ekspornya, sebuah langkah yang sempat diprotes Jepang.

Mencari alternatif

Tidak seimbangnya pasokan dan permintaan, serta sulitnya proses pemisahan LTJ dari mineral induknya yang mengandung unsur radioaktif, seperti uranium dan torium, membuat harga mineral ini sangat mahal. The Economist menyebut, beberapa jenis LTJ yang paling tinggi nilainya bisa berharga 2.200 dollar AS (Rp 19,6 juta) per kilogram.

Beberapa negara dan perusahaan multinasional yang bergantung pada pasokan LTJ ini sekarang beramai-ramai mencari sumber alternatif untuk mencegah ketergantungan pada China. Perdana Menteri Jepang Naoto Kan dan PM Mongolia Sukhbaatar Batbold, pekan lalu, sepakat untuk mengembangkan kerja sama penambangan LTJ di Mongolia.

Toyota Motor Corp, melalui anak perusahaannya, Toyota Tsusho Corp, sudah sejak dua tahun lalu memutuskan membuat perusahaan tambang LTJ joint venture di Vietnam. ”Ketergantungan pada satu negara banyak risikonya,” tutur juru bicara Toyota Motor Corp, Morimasa Konishi, pekan lalu.

Toshiba dan Sumitomo juga menjalin kerja sama joint venture untuk membuka tambang LTJ di Kazakhstan, tahun lalu. Perusahaan Jepang lainnya menjalin kerja sama dengan Lynas Corp dari Australia untuk mendapatkan pasokan LTJ dari tambang Mount Weld, Australia.

Korea Selatan, yang memiliki perusahaan-perusahaan teknologi tinggi, seperti Samsung dan LG, juga mulai memikirkan pasokan LTJ-nya. Pemerintah Korsel berencana menganggarkan dana sebesar 17 miliar won (Rp 135,4 miliar) untuk mengamankan cadangan 1.200 metrik ton LTJ hingga tahun 2016.

Sementara di AS, Kongres mengadakan sidang khusus untuk memperpanjang lisensi pertambangan LTJ di Mount Pass, California, agar tambang tersebut bisa segera beroperasi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri AS.

Menumpuk di gudang

Kepala Badan Geologi Sukhyar mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki stok mineral mengandung LTJ yang sudah ditambang, yakni di kawasan pertambangan timah di Kepulauan Bangka-Belitung (Babel).

Selama ini, mineral-mineral itu menjadi produk sampingan pengolahan bijih timah oleh tambang-tambang timah di kepulauan tersebut, termasuk oleh PT Timah. ”Timah berasal dari batuan induk granit. Jadi, setiap ada tambang timah, pasti mineral-mineral mengandung LTJ ini juga ada,” ungkap Sukhyar.

Dalam sebuah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2007 terhadap PT Timah dan PT Koba Tin, dua perusahaan tambang yang beroperasi di Babel, diketahui cadangan mineral mengandung LTJ ini sangat besar. Data stok terakhir PT Timah pada 2006 memiliki 408.877 ton monazite (mengandung 50-78 persen oksida tanah jarang atau rare earths oxides/REO), 57.488 ton xenotime (mengandung 54-65 persen REO), dan 309.882 zircon (mengandung itrium dan serium).

Sementara PT Koba Tin hingga September 2007 memiliki stok monazite sebesar 174.533 ton. Data Badan Geologi menunjukkan, kawasan Kepulauan Babel yang sudah dieksplorasi menunjukkan potensi sumber daya monazite sebesar 10.526,8 ton.

Mineral sebanyak itu selama ini hanya disimpan di gudang perusahaan-perusahaan tersebut. Karena sifatnya yang mengandung unsur radioaktif uranium dan torium, stok mineral tersebut tidak diproses lebih lanjut karena harus melibatkan institusi pemantau zat radioaktif, seperti Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan IAEA.

Survei keekonomian

Selain itu, karena pemerintah belum menetapkan LTJ sebagai sasaran eksplorasi, maka seluruh stok mineral mengandung LTJ ini dibiarkan begitu saja. Sukhyar mengatakan, ada risiko stok mineral berpotensi tersebut diselundupkan ke luar oleh orang-orang yang mengerti nilai sesungguhnya mineral ini.

Penyelundupan mineral produk sampingan tambang ini bukan tidak mungkin. BPK mencatat pernah ada usaha penyelundupan mineral ilmenite, yang mengandung uranium dan torium, dari Kabupaten Bangka Tengah pada 24 November 2007.

Lebih jauh dari itu, karena pemerintah memang belum melihat ke potensi LTJ ini, kegiatan eksplorasi lanjutan untuk mengetahui berapa sesungguhnya cadangan logam tersebut yang dimiliki Indonesia juga belum pernah dilakukan. Apalagi membahas teknologi pemurnian LTJ itu pada skala industri. ”Sampai sekarang belum ada survei keekonomian penambangan LTJ ini,” tutur Sukhyar.

Meski susah dan membutuhkan penguasaan teknologi khusus, pembangunan pabrik proses pengolahan untuk skala industri di Indonesia bukan hal yang tak mungkin. Triharyo Soesilo, mantan Direktur Utama PT Rekayasa Industri—BUMN yang bergerak di bidang rancang bangun dan rekayasa fasilitas industri, mengatakan, Indonesia pasti bisa membangun industri LTJ.

”Di dunia pasti ada lisensi teknologi yang bisa dibeli. Singkat kata, bisa!,” tutur Triharyo, alumnus Teknik Kimia ITB, yang kini menjadi salah satu anggota Dewan Komisaris Pertamina itu.

Sekarang tinggal kembali pada niat dan visi para pemimpin pemerintahan Indonesia. Apakah akan ikut serta dalam percaturan masa depan dunia, atau mau berpuas diri di dalam ”zona nyaman” sebagai pengikut dan konsumen.

Jika China bisa memiliki visi 30 tahun ke depan, mengapa kita tidak? (AP)


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...