Bahan gelas, urainya, bukanlah penghantar listrik, namun gelas bisa menjadi konduktor ionik dengan meningkatkan kualitasnya dengan teknik hamburan netron, sehingga bisa menjadi bahan komponen baterai.
Baterai biasanya berbahan baku timbal (Pb), Kadmium (Ca), Nikel (Ni) dan lain-lain yang berbahaya bagi kesehatan dan tak ramah lingkungan, namun baterai dengan bahan gelas selain tak berbahaya bagi kesehatan juga lebih ramah lingkungan, ujar pakar dengan spesialisasi "neutron scattering techniques for solid state ionics" itu.
Menurut dia, riset tentang penghantar listrik berbahan gelas sebenarnya sudah ada di sejumlah negara maju, namun caranya berbeda, karena cara yang ditemukannya jauh lebih sederhana dan murah namun menghasilkan kualitas yang sama. Ditanya cara membuat gelas konduktor superionik tersebut, ia menjelaskan, bahan campuran gelas itu dipanaskan pada suhu 800 derajat Celcius hingga meleleh lalu dengan cepat didinginkan lagi.
"Dalam gelas itu terbentuk ion-ion (sekumpulan atom yang bermuatan listrik -red) yang berasal dari bahan-bahan yang dicampurkan itu yakni perak (Ag), lithium (Li) atau tembaga (Cu). Dengan begitu konduktivitas gelas itu meningkat," katanya sambil mengaku masih terlalu sibuk untuk mematenkan hasil risetnya.
Penghantar listrik berbahan gelas ini ke depan, lanjut dia, dibuat ke arah baterai film tipis dengan ketebalan seukuran mikron yang digunakan pada "smart card" atau pada chip. Evvy mulai dikenal ketika menemukan model baru difusi dalam material gelas, lalu ia melanjutkannya dengan berbagai penelitian dari bahan gelas dengan metode teknik hamburan neutron.
Kini ia mampu menghasilkan gelas konduktor ionik dengan daya yang lebih besar dibanding baterai yang ada saat ini. Alumni jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung itu berharap, suatu saat Indonesia bisa memproduksi baterai hasil temuan para penelitinya, berhubung di zaman modern ini baterai isi ulang semakin tak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari.
• Republika
0 comments:
Post a Comment