Sunday, 5 August 2012

"Merpati Ditipu Yahudi-AS, Saya Dipidanakan"

 KPK dan Bareskrim Polri menyatakan tak ada korupsi dalam kasus ini.

http://us.media.viva.co.id/thumbs2/2012/07/25/164844_dahlan-iskan-dan-hotasi-nababan_209_157.jpgDahlan Iskan menghadiri peluncuran buku kasus hukum Hotasi Nababan (kanan)

VIVAnews - "Soeharto saja saya lawan, ketidakadilan ini pasti akan saya lawan!" Kalimat itu bergeletar keluar dari mulut Hotasi Nababan, mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines.

Hotasi, pria kelahiran Manila 7 Mei 1965 itu, kini tengah bergumul dengan tuduhan korupsi yang diarahkan jaksa kepadanya terkait penyewaan dua pesawat Boeing 737 senilai US$1 juta yang belakangan bermasalah.

"Korupsi itu seperti stigma PKI, sekali kena cap maka hancurlah saya sekeluarga. Dalam kasus saya, korupsinya di mana?" dia mempertanyakan, sambil geleng-geleng kepala, ketika diwawancarai VIVAnews di Jakarta, akhir Juli lalu.

Hotasi bersikukuh dia tak sekukupun mencuri uang negara. "Karena Presiden sudah 'mengamuk' di media massa Merpati harus diusut, akhirnya Kejaksaan memutuskan kasus ini saja yang dijadikan target. Jadi, saya cuma sekali diperiksa, langsung jadi tersangka," kata alumnus Massachusetts of Institute of Technology, AS, dan mantan aktivis yang pernah menduduki Gedung DPR/MPR di tahun 1989 ini.

Bagaimana sebenarnya lika-liku kasus yang melilit mantan Ketua Himpunan Mahasiswa ITB ini? Berikut wawancara VIVAnews dengan Hotasi:

Sebenarnya, bagaimana kasus ini bisa muncul?

Waktu itu Merpati mau menambah pesawat dan kami mencari-cari selama tahun 2006. Susah dapat, karena reputasi Merpati saat itu. Sampai akhirnya kami mendapatkan lessor ini. Pesawat Boeing sudah dicek. Satu ada di AS, satu lagi masih dipakai di Batavia Air. Kami juga mengecek pihak lessor--orang dan perusahaannya. Kami cek latar belakangnya. Orang-orang ini adalah profesor dan eks bankir Amerika.

Setelah semua proses selesai, kami negosiasi, maka ditaruhlah uang deposito US$500 ribu untuk masing-masing pesawat pada 20 Desember 2006. Seharusnya, pesawat pertama kami terima pada 5 Januari 2007 dan kedua 20 Maret 2007. Tapi, pada 5 Januari 2007 itu, kami cek pesawat sudah ada dan sudah kami inspeksi, tapi tidak kunjung dikirim. Mereka mengatakan masih ada persoalan dengan pemilik sebelumnya, anak usaha Lehman Brothers. Mereka pun menawarkan pesawat lain dengan harga sewa yang lebih tinggi. Namun, kami tidak setuju dan meminta pengembalian dana sesuai dengan perjanjian.

Mereka kemudian mengusulkan agar menunggu sampai Maret sesuai jadwal pengiriman pesawat kedua. Tapi, ternyata Merpati tak kunjung menerimanya juga. Karena sudah kesal, kami menggugat ke pengadilan AS dan menang pada Juli 2007. Sekarang tinggal mengejar uang depositnya.

Mereka melakukan perlawanan hukum. Sampai akhirnya pada 2008 kami kirim tim bersama kejaksaan untuk mengejar uang itu. Nah, jaksa yang ikut di tim itu sekarang menjadi saksi yang meringankan saya. Ini mungkin kasus pertama di mana jaksa jadi saksi meringankan.

Saya mengilustrasikan kasus ini begini: saya kehilangan mobil, lalu panggil polisi. Kami pun sepakat untuk mengejar maling itu dan ketemu malingnya. Maling itu mengaku. Namun, dia ada di seberang sungai. Untuk menyeberang sungai perlu peralatan dan usaha, jadi kami balik ke rumah dulu. Begitu sampai rumah, saya ditahan polisi. Alasan polisi: gerbang rumah saya tak digembok, karena itu maling mencuri mobil saya. Jadi, objek masalah dalam kasus ini dipindahkan.

Siapa yang berinisiatif menyewa pesawat?

Waktu menginvestigasi kasus pesawat China, prosedur mendatangkan pesawat itu lengkap dan meliputi banyak lembaga. Jadi, sulit untuk mulai mengusut dari mana. Semua lembaga, Bappenas, Kementerian Perhubungan menyetujui, juga beberapa menteri. Namun, karena Presiden sudah mengamuk di media massa, bahwa Merpati harus diusut, akhirnya Jampidsus Kejaksaan Agung memutuskan kasus ini (penyewaan dua pesawat Boeing oleh Merpati) saja yang diperdalam dan langsung diberi target waktu untuk dituntut. Bayangkan, saya cuma sekali diperiksa langsung jadi tersangka, pada Agustus.

Jadi, pemicunya pesawat dari China itu?

Kalau menurut saya, ini soal pencitraan. Media juga yang menyudutkan dan mendesak kejaksaan. Saya yakin jaksa bukan orang bodoh yang tak tahu ada korupsi atau tidak. Tapi, kalau sudah terlanjur di-blow up media, kejaksaan akhirnya berprinsip: kalau tersangka bebas itu kan karena hakim, kalau diputuskan bersalah itu kemenangan bagi kejaksaan.

Kasus Anda sebetulnya perdata?

Kasus ini sudah lama muncul. Awalnya tidak kami tanggapi, karena ini persoalan sederhana: bagaimana mengembalikan security deposit. Namun, yang berkembang di pemberitaan malah terbalik-balik: security deposit dibayarkan, tapi pesawat tak datang-datang. Bukan itu yang terjadi. Deposit ditaruh, namun mereka (lessor) wanprestasi, telat, dan tugas Merpati untuk berusaha mengembalikan deposit itu. Ini hal yang lazim di industri penerbangan. Akhirnya kami gugat di pengadilan dan menang.

Pasal apa yang dikenakan dalam kasus Anda?

Jaksa memaksakan pasal perbuatan melawan hukum. Soal kerugian negara US$1 juta, mereka cap negara sudah rugi. Padahal, menurut argumen kami, uangnya kan masih bisa dikejar. Fokus kejaksaan malahan perbuatan melawan hukum, yaitu prosedur menaruh deposit.

Mereka mencari-cari alasan. Pertama, saya dianggap tak melaksanakan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) tahun 2006, karena di tabel armada tak disebutkan tipe pesawat. Oke, mengapa itu tak ada? Karena waktu dibuat, rencana itu belum pasti. Meski begitu, sebetulnya dalam RKAP yang sama, ada pasal berikutnya yang menegaskan direksi Merpati diberi kewenangan untuk mengubah armada sesuai yang tersedia di pasar. Pasal lain, direksi diminta untuk melakukan pengikatan pesawat secepatnya, karena waktu itu rebutan. Itu amanah dari pemegang saham.

Anehnya, ketika saya menyodorkan argumen itu ke kejaksaan, mereka cuma bilang agar saya menyodorkan saja pasal itu di pengadilan untuk dijadikan bukti saya. Dari awal, kasus ini memang aneh, dipaksakan.

Jaksa punya dokumen lengkap, tapi yang dimasukkan dalam berkas tuntutan kebanyakan hanya berkas administratif. Sedangkan bukti yang meringankan seperti keputusan pengadilan yang memenangkan Merpati oleh pihak kejaksaan malah minta agar dibuktikan saja di pengadilan.

Ini sudah jadi modus baru. Kasus abu-abu seperti ini paling banyak terjadi di BUMN. Luput dari pemberitaan media, sebenarnya ada belasan kasus seperti ini yang menimpa BUMN-BUMN. Salah satunya soal satu BUMN yang mengambil alih lahan BUMN lain. Penegak hukum main langsung saja menganggap itu melanggar hukum, korupsi, dan merugikan keuangan negara.

Bagaimana dengan sikap KPK?

Saya keluar dari Merpati, Februari 2008. Direksi setelah saya terus mengejar uang deposit itu. Pada tahun 2007, dua pelapor mengirimkan berkas ke semua lembaga penegak hukum, mulai kejaksaan, kepolisian, sampai KPK. Dua orang ini adalah mantan karyawan Merpati yang terkena rasionalisasi organisasi dan tidak puas.

Pada 27 Oktober 2008, atas pengaduan itu, rupanya KPK mengirimkan surat resmi kepada pelapor, menyatakan “materi pengaduan Saudara tak memenuhi kriteria tindak korupsi”. Karena hanya ditujukan kepada pelapor, semula hanya mereka yang tahu.

Saya baru tahun lalu jadi tersangka, Agustus 2011. Ternyata, di Merpati banyak teman yang marah dengan tindakan pelapor ini. Mereka lalu membongkar ruangan kerja si pelapor--yang menjadi staf direksi--dan tak dinyana menemukan surat penegasan dari KPK itu. Mereka lalu mengirimkannya kepada saya dan yang lain.

Anda belum dipanggil KPK?

Belum pernah. KPK kan selalu berhati-hati menangani kasus. Mereka baru akan panggil kalau buktinya betul-betul kuat.

Bagaimana sikap Bareskrim Mabes Polri?

Surat ini (sambil menunjukkan kopi surat dari Bareskrim) ditujukan kepada Dirut Merpati. Waktu itu saya masih jadi Dirut. Isinya: "Belum ditemukan fakta tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.”

Jika di KPK dan Polri clear, kenapa kejaksaan bisa menuding Anda korupsi?

Jawaban jaksa enteng saja: masing-masing lembaga berbeda. Fenomena ini menurut saya keterlaluan. Sebagai pribadi, saya itu paling benci korupsi. Karena itu saya minta teman-teman dekat saya untuk memberikan testimoni agar menjadi saksi bagaimana hidup sebenarnya.

Kembali ke soal deposit, bagaimana statusnya sekarang?

Masalah utama adalah bagaimana mengembalikan uang deposit itu, mengejar kedua lessor ini (Alan Messner sebagai pemilik TALG dan Jon Cooper pemilik Hume Associates). Alternatifnya bisa menggunakan Kejaksaan Agung AS untuk mempidanakan mereka. Kedua, melalui pengejaran harta perdata. Kedua orang ini mempunyai kemampuan untuk mengembalikan uang itu. Mereka memiliki aset.

Uang itu sudah dikembalikan?

Hanya US$5.000. Itu hanya akal-akalan mereka dan dibayar setelah saya tidak lagi di Merpati. Saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin karena dua warga Amerika yang menipu dan berbuat sewenang-wenang, tapi jaksa malah menimpakan kesalahan ke kami yang menjalankan perusahaan sesuai itikad dan kaidah bisnis yang betul. Kami berupaya mengejar uang deposit itu, tapi malah kami yang melapor lalu dipidanakan dan dijadikan pesakitan.

Siapa sebetulnya dua warga Amerika itu?

Jon Cooper ini profesor di George Masson University di Washington, D.C., dan jadi jadi konsultan di mana-mana. Dia juga punya akses keuangan dari lembaga keuangan Yahudi. Dia pernah jadi penasihat US Coast Guard dan konsultan lepas Bank Dunia bagi sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia.

Alan Messner ini adalah bankir muda yang bersama temannya di BCI Aircraft Leasing mendirikan leveraged aircraft lease. Setelah peristiwa 9/11, banyak maskapai yang mengalami kredit macet di bank. Peluang ini yang dia manfaatkan.

Waktu proses mediasi di tahun 2008, kedua orang itu hadir bersama pengacara. Artinya, mereka patuh pada hukum AS.

Rumah Messner di Chicago itu besar dan Jon memiliki apartemen mahal di Washington, D.C. Harusnya pemerintah Indonesia mengejar habis-habisan uang deposit itu. Menurut keputusan pengadilan, kedua orang itu harus membayarnya, ditambah bunga dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pengadilan.

Saat ini, perusahaan mereka telah dibangkrutkan dan mereka juga tengah berupaya membangkrutkan aset pribadi mereka. Untung telah berhasil dicegah. Di Chicago, Messner dikenal sebagai orang Yahudi kaya. Asetnya bisa dikejar.

Kenapa Interpol tak bisa menjangkau mereka?

Bagaimana bisa? Pemerintah Indonesia tak meminta bantuan mereka. Orang Indonesia itu jago menangkap buronan asal Indonesia, tapi kalau berhadapan dengan bule seperti jadi sulit.

Pemerintah belum mengirimkan Red Notice?

Pemerintah sampai 2008-2009 terus mengejar uang deposit itu. Tapi, pengejaran dihentikan pada 2010. Entah kenapa. Saya selalu tekankan, kalau pengejaran dihentikan, itu akan menjadi kerugian negara. Kalau pemerintah menganggap ini kerugian negara, maka pemerintah wajib mengejar uang itu.

Ingat, uang deposit itu bisa kedaluwarsa. Kasus ini akan expired setelah berumur tujuh tahun. Kasus inidimulai pada Desember 2006, jadi akan kedaluwarsa di Amerika pada Desember 2013 mendatang.

Bagaimana sikap pemerintah AS?

Terakhir, Dirut Merpati yang baru sudah mengadakan pertemuan dengan Kedubes AS dan FBI di Kedubes AS. Mereka menyatakan prihatin dan memalukan posisi AS, karena keduanya bukan orang sembarangan. Profesor Cooper ini merupakan salah satu penasihat US Cost Guard.

Jadi, menurut Anda, kasus Anda ini peradilan sesat?
Menurut saya, ini lebih abuse of power. Korupsi itu seperti stigma PKI dulu. Sekali dicap, maka hancurlah kita sekeluarga. Saya bingung, saya korupsi apa?

Anda pernah diperas?

Saya punya pengalaman Desember lalu ketika didatangi oknum jaksa. Dalam perbincangan, mereka menanyakan mengenai rumah saya. Saya katakan memiliki rumah sejak 1996 dan sekarang harganya sudah mencapai Rp5 juta per meter, karena daerahnya berkembang. Oknum itu mengatakan nanti kita bisa dapat Rp1 juta per meter, kan rumahnya akan disita.

Langsung pada saat itu, saya teringat anak saya yang berusia 3 dan 11 tahun. Di situ wajah saya tak lagi bersahabat. Saya katakan kepada dia (muka Hotasi merah padam, telunjuknya menunjuk-nunjuk): "Saya akan lawan. Ini seperti cara-cara orang merampas harta orang-orang yang pernah dicap PKI dulu."

Saya katakan, Soeharto saja saya lawan. Ini pasti saya lawan. Enak saja mereka menyalahgunakan gerakan anti korupsi. Tentu saya ingin bebas. Tapi yang lebih penting lagi, praktik-praktik seperti ini harus disudahi. Saya akan perang sampai habis terhadap praktik pemerasan, penzaliman, dan membalikkan tujuan gerakan anti korupsi jadi pembenaran untuk melakukan pemerasan.

Anda pernah diperas?

Ya, sedari awal. Ada sinyal-sinyal yang disampaikan, secara tak langsung. Tapi dari awal sudah saya tegaskan: saya tidak punya uang dan tidak akan mau menyuap. Kasus saya menunjukkan: kebencian masyarakat terhadap korupsi telah dibajak. (kd)

© VIVA.co.id

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...