Bandung (ANTARA News) - Gross domestic product (GDP) Indonesia saat ini sudah mencapai Rp7.000 triliun, pendapatan per kapita penduduk Indonesia juga sudah mencapai 3.000 dollar AS dengan kelas menengah yang semakin membesar.
Menurut the Global Competitiveness Report 2011-2012 pun daya saing Indonesia menempati peringkat ke-46 dari 142 negara, dibanding Vietnam (peringkat 65) dan Filipina (75) Indonesia masih lebih baik.
Namun demikian dari 12 pilar daya saing yang dinilai, kesiapan teknologi dan inovasi memiliki nilai terendah dibanding nilai lainnya, masing-masing bernilai 3,33 dan 3,59, suatu fakta yang mengindikasikan bahwa perkembangan sumber daya iptek belum memberikan sumbangan signifikan.
Menurut Deputi Kelembagaan Iptek Kementerian Ristek, Benyamin Lakitan, ini berarti struktur ekonomi Indonesia masih terfokus pada pertanian dan industri yang menggali hasil alam secara gelondongan, sementara industri yang berorientasi pada nilai tambah produk masih minim.
Jika digambarkan, meski Indonesia merupakan penghasil nomor satu minyak sawit dunia, negara ini belum banyak mengolahnya menjadi produk turunannya seperti bahan sabun dan kosmetik, padahal nilai tambahnya bisa berlipat-lipat kali dibanding hanya mengekspor minyak sawit mentah (CPO).
"Bila kita perhatikan data ekspor sepanjang dasawarsa terakhir, produk-produk manufaktur kita memang didominasi oleh produk bernilai tambah rendah. Produk-produk yang kita hasilkan ini faktanya memang tidak tersentuh oleh riset dan inovasi," katanya.
Menurut dia, bagi masyarakat industri dimana iptek kurang berharga maka sistem pasarnya akan mengalami hambatan untuk bisa meningkatkan efisiensi, dengan demikian kemajuan yang diidamkan pun terus tersendat.
Melongok ke China
Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta dalam sambutannya untuk Dialog Nasional "Mainstreaming Iptek dalam Pembangunan Nasional" menyebutkan, Indonesia bisa belajar ke negeri China yang memiliki sejarah panjang dalam memadukan iptek ke proses industrialisasi.
Pada 1970 negeri tirai bambu ini mulai bereksperimen dengan kebijakan yang memacu perkembangan iptek, awalnya ditempuh dengan mengimpor iptek dari negara-negara Barat untuk merenovasi perusahaan-perusahaan milik negara, urainya.
Pemerintah China juga merangsang penanaman modal asing masuk ke China dengan batasan yang ditentukan pemerintah, seperti mengharuskan korporat multinasional (MNC) bermitra dengan BUMN China.
"Torch Plan" pun diluncurkan untuk mengembangkan berbagai kawasan "high-tech" yang di dalamnya didirikan sejumlah perguruan tinggi dan perusahaan (BUMN) berteknologi tinggi, yang bersama institusi riset pemerintah mengembangkan pendidikan, riset dan produksi industrial.
Sayangnya, lanjut Menteri, strategi ini tidak sukses karena hubungan antara institusi riset dan perusahaan swasta China tidak berkembang. Meskipun sejumlah "industrial parks" sudah didirikan ternyata hanya sedikit perusahaan swasta China yang berpartisipasi di situ.
Selanjutnya, pemerintah China menggeser kebijakannya dengan mengurangi kendali pemerintah pusat serta lebih terbuka lagi terhadap investasi asing bersifat langsung (Foreign Direct Investment /FDI).
Pada awal 1990-an pemerintah China kemudian meminta perusahaan-perusahaan swasta China melakukan alih teknologi dari MNC-MNC ini dan mengupayakan peningkatan kapabilitas teknologi.
Swasta didorong untuk melakukan pengembangan produk dengan berbasis riset sekaligus berorientasi persaingan pasar.
Kebijakan ini menstimulasi tumbuhnya kelompok swasta non-pemerintah yang didirikan oleh perorangan dari perguruan tinggi dengan kepemilikan secara bersama publik-swasta, ujarnya.
Pada 1995 pemerintah China mengeluarkan kebijakan baru yang bertujuan untuk mempercepat perkembangan iptek dimana pengembangan riset fundamental dilakukan pemerintah, sedangkan pengembangan teknologi terapan diserahkan ke pelaku pasar dan pemerintah daerah.
Perhatian pada perusahaan kecil dan menengah pun mulai meningkat dan pengembangan "industrial parks" juga bergeser ke arah yang lebih sesuai dengan kebutuhan usaha kecil dan menengah (UKM).
Sejumlah pusat inkubasi kemudian membentuk modal ventura untuk UKM dan membantu mereka mendapatkan pinjaman bank sebagai modal atau pengembangan usaha, urainya.
Namun meskipun sukses merangsang pertumbuhan berbagai perusahaan berbasis iptek, muncul persoalan baru yang signifikan dimana program akuisisi teknologi lewat FDI justru menimbulkan dominasi perusahaan multinasional asing terhadap pasar domestik.
Di banyak sektor MNC-MNC ini bergerak jauh lebih agresif dan meraih posisi yang kuat serta mempertahankan kendali mereka atas kepemilikan teknologi.
Ternyata keterbukaan terhadap investasi asing langsung (FDI), juga tidak memberi benefit dalam bentuk alih teknologi, katanya.
Meski demikian, lanjut dia, pemerintah China tetap sukses meningkatkan budaya iptek, terbukti China akhirnya menempati ranking kedua setelah AS dalam publikasi ilmiah, demikian pula jumlah paten yang meningkat pesat.
"Kesuksesan ini tidak terlepas dari kepemimpinan, konsistensi kebijakan dan infrastruktur sosial budaya yang berkembang sejalan dengan makin kuatnya sistem inovasi yang dibentuk," katanya.
Sementara itu, Profesor Xudong Gao dari Tsinghua University, China sebagai pembicara dalam seminar internasional ke-10 Triple Helix di Hotel Grand Panghegar, Bandung, Rabu, membenarkan bahwa kebijakan pemerintah China telah sukses membawa negaranya menjadi salah satu yang terdepan dalam teknologi.
Ia mengatakan, kebijakan Pemerintah China secara masif menggalang kerjasama universitas, pusat penelitian dan perusahaan swasta menjadi faktor kunci keberhasilan China meninggalkan ketergantungan transfer teknologi dari perusahaan asing.
"Tadinya China bergantung pada transfer teknologi dari korporasi multinasional. Salah satu cara untuk mendapatkan transfer teknologi ini adalah dengan permodalan `joint venture` antara perusahaan asing dan perusahaan lokal," tuturnya.
Transfer teknologi itu, lanjut Gao, sukses diterapkan untuk beberapa sektor seperti manufaktur dan elektronik. Meski demikian, kata dia, produk yang dihasilkan oleh perusahaan lokal China tidak memiliki kualitas yang bagus sehingga kalah bersaing di pasaran.
Untuk menyelamatkan perusahaan lokal agar bisa berdaya saing, tutur Gao, Pemerintah China pada era 1980-an mengeluarkan kebijakan bertitel program 863 yang menginvestasikan 33 miliar remenbi, melibatkan 150 ribu peneliti, 500 pusat penelitian, serta 1.000 perusahaan swasta guna menghasilkan inovasi teknologi nasional yang bisa diaplikasikan dalam skala industri.
Buah program itu, menurut Gao, saat ini sudah mewujud nyata dengan kekuatan ekonomi raksasa China yang menguasai berbagai teknologi secara mandiri di hampir semua sektor industri.
"Sekarang korporasi multinasional sudah berhenti melakukan transfer teknologi dan harus bersaing dengan perusahaan lokal. Perusahaan seperti Sony dan Samsung pun kini harus bersaing dengan perusahaan lokal," ujarnya.
Awalnya Sama
Jika kembali menoleh ke Indonesia, dari sisi kebijakan dan strategi, awalnya hampir sama dimana pada 1970-an telah dilakukan upaya industrialisasi berbasis teknologi tinggi dimana daya saing ekonomi harus bersumber pada kekuatan iptek.
Pada era ini sejumlah inovasi besar telah dihasilkan, seiring dengan sistem inovasi yang sudah dibentuk dari mulai pusat-pusat inovasi, BUMN-BUMN yang mendukung dikembangkannya teknologi tinggi, hingga persiapan sumber daya manusia.
Sayangnya krisis ekonomi pada 1997, ujar Menteri, telah mengubah seluruh konsistensi kebijakan terkait proyek-proyek pengembangan iptek dan industrialisasi `high-tech` serta menyebabkan sistem inovasi yang sudah dibentuk macet, sehingga kini hasilnya sungguh berbeda dibandingkan dengan China.
Karena itu Kemristek sedang akan mengupayakan peningkatan investasi riset dan pengembangan dalam APBN agar mencapai satu persen dari GDP pada 2014 atau sekitar Rp70 triliun.
Saat ini investasi riset nasional hanya 0,08 persen dari GDP atau hanya sekitar Rp5,6 triliun dimana 80 persen merupakan investasi pemerintah yang ada di lembaga riset, perguruan tinggi, Balitbang kementerian dan Balitbang daerah.
Investasi R&D itu akan digunakan untuk memacu kapasitas sistem inovasi daerah serta memperluas dana riset lewat Peningkatan Kapasitas Peneliti dan Perekayasa (PKPP) untuk riset-riset terkait tujuh prioritas, yakni pangan, energi, kesehatan, teknologi informasi, transportasi, pertahanan, dan material maju.
"Dengan riset dan iptek yang maju diharapkan Indonesia lebih mandiri dan mampu mengolah sumber daya alamnya untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi dalam persaingan global," katanya.(D009)
(Antara)
0 comments:
Post a Comment