Tanaman Kenikir |
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Tim Program Kreativitas Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memanfaatkan ekstrak daun kenikir (Tagetes erectus) sebagai alternatif antibakteri Staphylococcus epidermidis pada deodoran 'parfume spray'.
"Pemilihan tanaman kenikir sebagai bahan antibakteri Staphylococcus epidermidis yang merupakan penyebab bau badan itu, karena tanaman tersebut murah, dan mudah diperoleh, serta pemanfaatannya masih belum optimal," kata Ketua Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Atika Salma, di Yogyakarta, Kamis (7/6).
Menurut dia, penelitian tentang pemanfaatan ekstrak daun kenikir sebagai antibakteri Staphylococcus epidermidis pada deodoran 'parfume spray' dilakukan dengan destilasi uap untuk mendapatkan ekstrak kenikir. Pelarut yang digunakan dalam destilasi uap itu adalah air.
Selanjutnya, kata dia, membuat deodoran 'parfume spray' dari ekstrak daun kenikir. Untuk menguji efektivitas deodoran 'parfume spray' terhadap aktivitas bakteri Staphylococcus epidermidis ini, dilakukan isolasi terhadap bakteri tersebut, kemudian dilakukan metode 'Standard Plate Count' (SPC) dengan variabel kontrol deodoran 'parfume spray' yang beredar di pasaran.
Ia mengatakan langkah selanjutnya adalah melakukan uji khalayak terbatas pada 15 orang probandus untuk mengetahui kualitas dari produk tersebut. Selain itu, juga untuk memastikan kelayakan produk ini untuk digunakan pada kulit manusia.
"Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak daun kenikir yang paling efektif secara statistik, data diolah menggunakan uji 't student'. Untuk mengetahui persentase minat masyarakat terhadap produk itu, maka dilakukan uji deskriptif statistika," katanya.
Anggota Tim PKM Fakultas MIPA UNY Meita Wulan Sari mengatakan bau badan merupakan salah satu masalah yang mengganggu kehidupan sehari-hari, karena sering membuat seseorang merasa kurang percaya diri. Meskipun keringat tidak berbau, adanya aktivitas bakteri pada ketiak atau bagian tubuh lainnya, membuat keringat menjadi berbau.
"Biasanya bau yang tidak sedap timbul bersama bau badan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri Staphylococcus epidermidis. Untuk menekan timbulnya bau badan, sebagian besar orang lebih senang menggunakan deodoran dalam berbagai bentuk dan variasi model yang ada saat ini," bebernya.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan deodoran bentuk lain, deodoran 'parfume spray' memiliki beberapa keunggulan, di antaranya lebih praktis, tidak lengket, tidak meninggalkan noda pada baju, tidak menyebabkan ketiak berwarna hitam, serta dapat digunakan di mana saja, dan kapan saja.
Namun, kata dia, adanya kandungan alumunium chlorohydrat yang merupakan bahan antipersirant utama pada deodoran, diketahui dapat menjadi penyebab kanker, terutama kanker payudara yang saat ini menjadi penyakit yang cukup ditakuti kaum perempuan.
"Berdasarkan fakta itu, Tim PKM Fakultas MIPA UNY memanfaatkan ekstrak daun kenikir sebagai alternatif antibakteri Staphylococcus epidermidis pada deodoran 'parfume spray', yang merupakan produk herbal," katanya.
"Pemilihan tanaman kenikir sebagai bahan antibakteri Staphylococcus epidermidis yang merupakan penyebab bau badan itu, karena tanaman tersebut murah, dan mudah diperoleh, serta pemanfaatannya masih belum optimal," kata Ketua Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Atika Salma, di Yogyakarta, Kamis (7/6).
Menurut dia, penelitian tentang pemanfaatan ekstrak daun kenikir sebagai antibakteri Staphylococcus epidermidis pada deodoran 'parfume spray' dilakukan dengan destilasi uap untuk mendapatkan ekstrak kenikir. Pelarut yang digunakan dalam destilasi uap itu adalah air.
Selanjutnya, kata dia, membuat deodoran 'parfume spray' dari ekstrak daun kenikir. Untuk menguji efektivitas deodoran 'parfume spray' terhadap aktivitas bakteri Staphylococcus epidermidis ini, dilakukan isolasi terhadap bakteri tersebut, kemudian dilakukan metode 'Standard Plate Count' (SPC) dengan variabel kontrol deodoran 'parfume spray' yang beredar di pasaran.
Ia mengatakan langkah selanjutnya adalah melakukan uji khalayak terbatas pada 15 orang probandus untuk mengetahui kualitas dari produk tersebut. Selain itu, juga untuk memastikan kelayakan produk ini untuk digunakan pada kulit manusia.
"Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak daun kenikir yang paling efektif secara statistik, data diolah menggunakan uji 't student'. Untuk mengetahui persentase minat masyarakat terhadap produk itu, maka dilakukan uji deskriptif statistika," katanya.
Anggota Tim PKM Fakultas MIPA UNY Meita Wulan Sari mengatakan bau badan merupakan salah satu masalah yang mengganggu kehidupan sehari-hari, karena sering membuat seseorang merasa kurang percaya diri. Meskipun keringat tidak berbau, adanya aktivitas bakteri pada ketiak atau bagian tubuh lainnya, membuat keringat menjadi berbau.
"Biasanya bau yang tidak sedap timbul bersama bau badan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri Staphylococcus epidermidis. Untuk menekan timbulnya bau badan, sebagian besar orang lebih senang menggunakan deodoran dalam berbagai bentuk dan variasi model yang ada saat ini," bebernya.
Menurut dia, jika dibandingkan dengan deodoran bentuk lain, deodoran 'parfume spray' memiliki beberapa keunggulan, di antaranya lebih praktis, tidak lengket, tidak meninggalkan noda pada baju, tidak menyebabkan ketiak berwarna hitam, serta dapat digunakan di mana saja, dan kapan saja.
Namun, kata dia, adanya kandungan alumunium chlorohydrat yang merupakan bahan antipersirant utama pada deodoran, diketahui dapat menjadi penyebab kanker, terutama kanker payudara yang saat ini menjadi penyakit yang cukup ditakuti kaum perempuan.
"Berdasarkan fakta itu, Tim PKM Fakultas MIPA UNY memanfaatkan ekstrak daun kenikir sebagai alternatif antibakteri Staphylococcus epidermidis pada deodoran 'parfume spray', yang merupakan produk herbal," katanya.
Anggota Tim PKM Fakultas MIPA UNY yang juga ikut mengembangkan produk herbal tersebut adalah Eko Budiyanto, Latifah Zuliyanti, dan Reni Dwi Astuti.
0 comments:
Post a Comment