REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kemenkominfo menyatakan pemberlakuan skema SMS berbasis interkoneksi yang efektif 1 Juni 2012 akan lebih menguntungkan konsumen. Alasannya kualitas layanan makin baik, konsumen sedikit banyak terhindar dari SMS spam (sampah).
"Peraturan yang mengatur skema interkoneksi SMS "cost based" (berbasis biaya) ini tetap dijalankan. Tentu saja ada sebagian publik yang belum paham soal aturan tersebut, dan apa untung ruginya, namun kita tetap memberikan sosialisasi dari kebijakan tersebut," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S Dewa Broto, di Jakarta, Jumat (8/6)
Terhitung 1 Juni 2012, skema interkoneksis SMS berubah dari sebelumnya Sender Keep All (SKA) menjadi berbasis biaya (cost based).
Adapun biaya terminasi SMS antar operator mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS.
Perbedaan antara pola SKA dan "cost based", bahwa pada SKA keuntungan dari hasil pengiriman SMS seluruhnya diperoleh operator pengirim SMS, sedangkan SMS berbasis interkoneksi, memungkinkan "revenue sharing" antara operator pengirim dan penerima.
Meski demikian, diutarakan Gatot, biaya sebesar Rp23 ini bukanlah yang menjadi tarif pungut kepada konsumen, sebab operator akan memperhitungkan juga biaya interkoneksi ditambah biaya retail activity seperti biaya produksi, pemasaran, profit margin dan lainnya.
"Biaya SMS pasti lebih besar dari Rp23, namun berapa besarannya tergantung masing-masing operator. Kami tidak menetapkan tarif retail per SMS, kami atur biaya terminasi antar operator agar adil bagi seluruh penyelenggara," ujarnya.
Namun Gatot meragukan operator berani menaikkan tarif SMS tanpa memperbaiki kualitas layanan. "Itu sama dengan bunuh diri, karena pelanggan akan beralih operator lain yang tarifnya lebih murah namun kualitas jaringannya lebih handal," ujarnya.
Ditambahkan Gatot, dengan peraturan tersebut tidak ada larangan operator memberikan tarif gratis SMS, namun operator yang bersangkutan akan membayar mahal karena ketentuannya bahwa pengirim juga dikenakan tarif SMS.
"Penawaran SMS gratis bisa saja tetap ada, namun konsumen belum tentu memanfaatkannya, karena mereka berpikir bahwa tarifnya lebih mahal," imbuh Gatot.
Namun yang tidak kalah penting adalah masyarakat akan terhindar dari serbuan SMS spam baik penawaran Kredit Tanpa Agunan (KTA), maupun penipuan seperti "Mama Minta Pulsa", dan kejahatan dunia maya lainnya.
Dari sisi positifnya, dapat menekan peredaran "spam broadcast" yang selama ini dijadikan ajang promosi para operator, namun sisi negatifnya tidak ada lagi layanan SMS gratis antar penyelenggara operator.
"Yang terjadi adalah adanya persaingan tarif SMS yang kompetitif antar operator," kata Gatot.
Sementara itu Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam, mengatakan yang diuntungkan adalah pelanggan, karena SMS spam akan berkurang.
Operator tidak akan berani lagi menawarkan SMS gratis ke sesama pelanggannya karena bisa berdampak negatif merusak kenyamanan dan memicu perpindahan pelanggan.
"Persaingan akan lebih sehat, karena operator berinvestasi untuk berkompetisi," kata mantan Presiden Direktur PT Indosat Tbk ini.
"Peraturan yang mengatur skema interkoneksi SMS "cost based" (berbasis biaya) ini tetap dijalankan. Tentu saja ada sebagian publik yang belum paham soal aturan tersebut, dan apa untung ruginya, namun kita tetap memberikan sosialisasi dari kebijakan tersebut," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S Dewa Broto, di Jakarta, Jumat (8/6)
Terhitung 1 Juni 2012, skema interkoneksis SMS berubah dari sebelumnya Sender Keep All (SKA) menjadi berbasis biaya (cost based).
Adapun biaya terminasi SMS antar operator mengikuti hasil perhitungan biaya interkoneksi tahun 2010, yaitu sebesar Rp 23 per SMS.
Perbedaan antara pola SKA dan "cost based", bahwa pada SKA keuntungan dari hasil pengiriman SMS seluruhnya diperoleh operator pengirim SMS, sedangkan SMS berbasis interkoneksi, memungkinkan "revenue sharing" antara operator pengirim dan penerima.
Meski demikian, diutarakan Gatot, biaya sebesar Rp23 ini bukanlah yang menjadi tarif pungut kepada konsumen, sebab operator akan memperhitungkan juga biaya interkoneksi ditambah biaya retail activity seperti biaya produksi, pemasaran, profit margin dan lainnya.
"Biaya SMS pasti lebih besar dari Rp23, namun berapa besarannya tergantung masing-masing operator. Kami tidak menetapkan tarif retail per SMS, kami atur biaya terminasi antar operator agar adil bagi seluruh penyelenggara," ujarnya.
Namun Gatot meragukan operator berani menaikkan tarif SMS tanpa memperbaiki kualitas layanan. "Itu sama dengan bunuh diri, karena pelanggan akan beralih operator lain yang tarifnya lebih murah namun kualitas jaringannya lebih handal," ujarnya.
Ditambahkan Gatot, dengan peraturan tersebut tidak ada larangan operator memberikan tarif gratis SMS, namun operator yang bersangkutan akan membayar mahal karena ketentuannya bahwa pengirim juga dikenakan tarif SMS.
"Penawaran SMS gratis bisa saja tetap ada, namun konsumen belum tentu memanfaatkannya, karena mereka berpikir bahwa tarifnya lebih mahal," imbuh Gatot.
Namun yang tidak kalah penting adalah masyarakat akan terhindar dari serbuan SMS spam baik penawaran Kredit Tanpa Agunan (KTA), maupun penipuan seperti "Mama Minta Pulsa", dan kejahatan dunia maya lainnya.
Dari sisi positifnya, dapat menekan peredaran "spam broadcast" yang selama ini dijadikan ajang promosi para operator, namun sisi negatifnya tidak ada lagi layanan SMS gratis antar penyelenggara operator.
"Yang terjadi adalah adanya persaingan tarif SMS yang kompetitif antar operator," kata Gatot.
Sementara itu Ketua Komite Tetap Bidang Telekomunikasi Kadin Johnny Swandi Sjam, mengatakan yang diuntungkan adalah pelanggan, karena SMS spam akan berkurang.
Operator tidak akan berani lagi menawarkan SMS gratis ke sesama pelanggannya karena bisa berdampak negatif merusak kenyamanan dan memicu perpindahan pelanggan.
"Persaingan akan lebih sehat, karena operator berinvestasi untuk berkompetisi," kata mantan Presiden Direktur PT Indosat Tbk ini.
0 comments:
Post a Comment