Monday, 29 November 2010

Dengan Sriti, Pantauan Jadi Lebih Jeli

Pesawat tanpa awak BPPT dapat memotret Daerah bencana dan kapal pencuri ikan. Beratnya 8,5 kilogram dan mudah diangkut.


Badannya yang putih makin bersinar terkena sorot lampu di ruang pamer Kemayoran, Jakarta Pusat. Sriti, nama pesawat tanpa awak karya ahli Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), memang ikut serta dalam pameran Indo Defense, yang digelar bulan lalu. Sriti, yang mampu terbang hingga 3.000 kaki, menjadi salah satu primadona pameran.

"Pesawat ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan keamanan nirmiliter," kata Mohammad Dahsyat, Chief Engineer Program Pesawat Udara Nirawak BPPT, kemarin. Sriti dapat mengawasi praktek pencurian ikan, pembalakan hutan, dan aktivitas mata-mata di wilayah perbatasan. Tak hanya itu, kata Dahsyat, pesawat ini juga mampu mengamati daerah korban bencana, seperti letusan gunung berapi, tsunami, kebakaran hutan, dan daerah yang terkena kebocoran radiasi nuklir atau bahan kimia beracun.

Konfigurasi pesawat dengan berat 8,5 kilogram ini tidak memiliki ekor dan dikenal dengan istilah flying wing atau tailless. Bentuk semacam ini memiliki kelebihan lantaran gaya hambat menjadi minimal sehingga penggunaan bahan bakar lebih irit. Apalagi bentangan sayap Sriti cuma 2.838,3 milimeter dan panjang badan 1.078,1 milimeter.

Menurut Dahsyat, negara-negara maju mengembangkan konfigurasi ini untuk pesawat udara nirawak (PUNA) masa depan. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang mengembangkan pesawat tanpa awak. Sejak 1970-an, negara adidaya ini menjadikannya pesawat intai.

Mulai 1990-an, BPPT merancang bangun sejumlah PUNA dengan jenis wulung, gagak, pelatuk, dan alap-alap. Berat pesawat- pesawat tersebut 120 kilogram dengan jangkauan sampai 120 kilometer. Sriti merupakan generasi terakhir dengan keunggulan sistem tenaga pen dorong menggunakan mesin motor bakar dua langkah berbahan metanol. Jangkauan terbang dirancang hingga radius 45 kilometer dan mampu terbang hingga 2 jam serta kecepatan jelajah sekitar 55 knot.

Untuk menjalankan fungsinya, Sriti dilengkapi kamera dengan spesifikasi PTZ (Pan- Tilt-Zoom). Hasil-hasil gambar video dikirim melalui modem dari onboard (di pesawat) ke GCS (ground control system) melalui modem. Untuk bahan dokumentasi, gambar-gambar tersebut direkam di bawah. Pesawat ini dilengkapi sistem otonom yang dihidupkan pada kondisi tertentu untuk terbang mandiri ke titik koordinat yang diinginkan. "Kami terus melakukan pengujian untuk memperoleh sistem yang andal sebelum memproduksi Sriti pada 2011," kata Dahsyat.

Karena tanpa ekor pesawat, Sriti lebih mudah dilepas dan dipasang kembali karena hanya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Fuselage; dua sayap kiri dan kanan; serta dua bagian kecil, yaitu winglet kiri dan kanan. "Jadi bisa dipasang oleh tiga orang," kata Ade Purwanto, salah satu anggota tim kontrol rancang bangun Sriti.

Skenarionya, kata Ade, satu orang membawa badan pesawat, lainnya membawa komputer jinjing pengendali pesawat dan peluncur (launcher) pesawat. Semua peralatan itu dapat diangkut olah satu kendaraan truk mini (pickup). Ringan dan sedikitnya alat penunjang memungkinkan Sriti dibawa ke hutan maupun medan yang tak memiliki landasan untuk pesawat.

Cara mendaratnya juga mudah." Cukup ditabrakkan ke jaring," kata Ade. Di daratan, Sriti bahkan dapat mendarat di rerumputan tinggi atau ilalang. Dengan adanya peluncur dan jaring, Sriti dapat lepas landas dan mendarat di kapal perang atau kapal patroli penangkap illegal fishing.

Direktur Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan BPPT Djoko Purwono Soehardi mengakui Kementerian Kelautan dan Perikanan serta TNI Angkatan Laut tertarik kepada Sriti. Pihaknya sedang menyiapkan nota kesepahaman dengan kedua instansi tersebut. Tahun depan, mereka melakukan uji coba bersama di kapal masing-masing.

Menurut Djoko, Sriti membuat operasi kapal patroli menjadi efisien karena dapat melihat lebih jauh kapal-kapal asing yang melakukan pencurian ikan di perairan Indonesia "Potret bidikan Sriti dapat jadi alat bukti," katanya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, ujar Djoko, juga berkepentingan dengan Sriti untuk memantau kondisi daerah yang baru dilanda bencana. UNTUNG WIDYANTO | KURNIASIH BUDI


KoranTempo

Warna Putih untuk Kamuflase

Sriti dilengkapi kamera dan menggunakan sistem telemetri. Kamera pengintai dipasang di bagian bawah pesawat. Data yang ditangkap kamera terekam langsung di Ground Control Station. "Bila pesawat jatuh, tak ada data yang terekam di badan pesawat. Data pun aman," kata Ade Purwanto, anggota tim kontrol rancang bangun Sriti.

Ground Control Station memang yang mengendalikan pesawat. Catapult take off digunakan saat lepas landas atau mendarat. Saat di udara, Sriti bergerak sesuai dengan titik-titik yang telah ditentukan di komputer. Pergerakan pesawat menggunakan software Dynamic c# dengan prosesor Rabbit 4000, yang telah dikembangkan tim BPPT. Untuk mengendalikan Sriti, dibutuhkan joystick, laptop, modem, dan antena.

Jarak maksimal antara pusat kontrol dan pesawat adalah 60 mil. Di atas kedua sayap, terdapat antena video dan antena kontrol untuk mengendalikan pesawat. Antena kontrol menggunakan frekuensi 900 MHz, sedangkan antena video menggunakan frekuensi 2,4 GHz.

Mesin yang dipasang pada bagian belakang pesawat adalah mesin helikopter kecil buatan Jepang. Memang tak semua bagian pesawat diproduksi khusus. Baling-baling di bagian belakang pesawat, misalnya, dibeli di pasar. Ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk kamuflase saat terbang pada siang hari, Sriti sengaja dicat warna putih. Pada masa depan, boleh jadi Sriti terbang malam, kata Ade, asalkan dilengkapi kamera inframerah. KURNIASIH BUDI


KoranTempo

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...