Wednesday, 1 December 2010

Bioenergi Terbukti Menguntungkan

Tanaman jarak memiliki prospek masa depan yang menjanjikan sebagai bahan bakar alternatif untuk menggantikan minyak bumi.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemanfaatan bioenergi dengan mengolah bahan-bahan organik sebagai sumber energi selama ini masih dipertanyakan efektifitas dan manfaatnya bagi masyarakat. Nah, seberapa besar manfaatnya harus dilihat dari banyak aspek.

Sebuah studi tentang efektifitas pemanfaatan bioenergi dipaparkan dalam rangkaian 7th Biomass Asia Workshop yang diselenggarakan di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Jakarta, 29 November-2 Desember 2010. Studi tersebut dilakukan oleh Udin Hasanudin dan Agus Haryanto dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Dalam studi tersebut, Udin dan Agus mengevaluasi dua desa di Lampung Utara, yaitu Desa Way Isem dan wilayah Prokimal. Kedua desa telah mencoba memanfaatkan sumber energi biomassa, yakni produksi bioetanol dari singkong dan produksi minyak jarak.

"Dalam studi ini ada beberapa aspek yang dinilai, antara lain manfaat produksi bioenergi bagi lingkungan, ekonomi dan sumber daya manusia," ungkap Udin kepada Kompas.com, Selasa (30/11/2010).

Desa di Prokimal menggunakan singkong untuk memproduksi bioetanol dengan pembinaan sebuah industri energi terkemuka di Indonesia. "Hasil studi kita menunjukkan, pertanian singkong terbukti memberikan keuntungan sebesar Rp 4.995.916 per hektar per tahun," kata Udin.

Selain itu, produksi bioetanol yang dilakukan lewat proses fermentasi juga terbukti memberikan keuntungan sebesar Rp 950-Rp 1.108 per liter bioetanol. "Human Development Index juga naik kurang lebih 2,3 persen dan dalam sudut pandang lingkungan, emisi CO2 bisa dikurangi sebanyak 85 persen," jelas Udin.

Di desa Way Isem yang memanfaatkan jarak untuk memproduksi bioenergi, fenomena yang terjadi berbeda. Jika masyarakat harus menyewa tanah secara khusus untuk menanam jarak, maka penggunaan jarak sebagai bioenergi tak menguntungkan secara ekonomi.

Namun jika masyarakat menjalani pertanian jarak sebagai usaha sampingan, keuntungannya adalah Rp 600 ribu- Rp 700 ribu per tahun. Sementara jika dijalani secara total, jarak sebagai tanaman antara jadi tak perlu menyewa tanah lagi, maka keuntungannya bisa mencapai 1.453.569 per hektar per tahun.

Udin melanjutkan, "Peningkatan Human Development Index-nya memang tidak banyak, hanya 1,8 persen, namun emisi CO2 nya bisa ditekan hingga 86 persen jika dibandingkan dengan bahan bakar diesel dengan produksi minyak jarak."

Dalam penelitiannya, Udin menemukan fakta bahwa desa yang membangun kemitraan dengan perusahaan tertentu bisa mendapatkan keuntungan lebih. "Di Prokimal, keuntungannya bisa lebih. Warga yang membangun kemitraan bisa mendapatkan kelebihan karena adanya teknologi yang ditransfer oleh perusahaan tertentu," kata Udin.

Berdasarkan fakta itu, Udin mengungkapkan, "Perlu adanya kemitraan dalam produksi bioenergi sehingga hasilnya lebih efektif. Perusahaan lewat program CSR-nya mungkin bisa membantu."

Di samping itu, pemerintah juga perlu mendukung program ini dengan kontrol yang berkelanjutan. "Di Way Isem, saat ini banyak peralatan yang sudah rusak. Ini perlu perhatian pemerintah daerah setempat. Selanjutnya perlu ada kontrol secara berkelanjutan," tandas Udin.

Penggunaan biomassa seperti singkong dan jarak bisa menghasilkan beberapa produk. Singkong bisa diolah menjadi bioetanol, kemudian ampasnya bisa dibuat menjadi biogas dan ampas lain bisa dikelola menjadi pupuk. Begitupun jarak yang bisa dikelola menjadi minyak jarak, biogas, dan pupuk.

Desa di Prokimal yang diteliti Udin sendiri sudah menjalankan produksi bioenergi sejak tahun 2008. Sementara, desa Way Isem telah menjalankan programnya sejak tahun 2007, setelah mendapat bantuan dari sebuah yayasan.


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...