Thursday, 4 November 2010

Memantau Gunung Berapi dengan Indra dan Teknologi

Bencana alam akibat letusan gunung berapi bisa dikatakan berbeda dengan bencana gempa bumi. Salah satu faktor pembedanya ialah pertanda terjadinya gempa bumi belum dapat diprediksi oleh manusia hingga saat ini. Gempa bumi sering kali datang tanpa memberi tandatanda terlebih dahulu. Kejadian nya terasa mengagetkan karena datang tiba-tiba tanpa pernah disangkadisangka sebelumnya.

Berbeda halnya dengan letusan gunung berapi. Meskipun letusan tidak bisa 100 persen diperkirakan seluruh detail aktivitasnya, tetapi masih bisa dibaca sejumlah per tandanya dengan menggunakan teknologi pemantauan gunung berapi. IGM Agung Nandaka, Kepala Seksi Metode dan Teknologi Mitigasi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) mengatakan pada intinya pemantauan bertujuan un tuk memprediksi erupsi dengan menggu nakan serangkaian metode.

Metode- metode itu dapat digunakan untuk mengetahui waktu terjadinya erupsi, lama erupsi, pusat letusan, serta karakteristiknya. Proses dan berbagai tanda yang muncul menjelang erupsi sangat berbeda antara gunung berapi yang satu dengan gunung berapi lainnya, bahkan gunung berapi di lokasi yang sama sekalipun. Pemantauan aktivitas gunung berapi, apalagi pada saat aktivitasnya meningkat, harus melibatkan berbagai disiplin ilmu dengan berbagai macam peralatan.

“Secara sederhana pemantauan dapat dikategorikan atas pemantauan dengan indra manusia langsung atau dengan peralatan instrumentasi,” ujar Agung. Pemantauan perubahan-perubah an yang muncul pada gunung berapi dengan cara melihat langsung melalui indra manusia disebut sebagai pemantauan visual. Beberapa perubahan yang biasanya diamati, antara lain kepulan asap dan perubahan warna, perubahan morfologi tubuh gunung berapi, dan munculnya kubah lava.

Berdasarkan catatan sejarah diketahui biasanya ada beberapa tanda yang dirasakan penduduk yang tinggal dekat dengan gunung berapi sebelum gunung tersebut meletus. Tanda-tanda itu, antara lain bau belerang yang semakin menyengat, warna asap yang berubah menjadi lebih gelap, adanya suara-suara gemuruh, dan layunya tumbuhan di sekitar puncak gunung berapi. Menurut Agung, meski pemantauan visual sering kali cukup efektif, cara tersebut memiliki kelemahan pada tingkat akurasi dan subjektivitasnya.

Apabila ada kabut, misalnya, pengamatan visual tidak bisa dilakukan. Pada kasus erupsi Gunung Merapi, yang hingga kini masih berlangsung, pemantauan visual dilakukan oleh petugas pos pengamatan yang berada di lima titik, yakni di Kaliurang, Ngepos, Babadan, Jrakah, dan Selo. Selain tanda-tanda fisik yang bisa teramati oleh indra manusia, tanda lain yang juga bisa menjadi indikator bakal terjadinya erupsi ialah peningkatan aktivitas seismik (kegempaan).

Tanda itu sering dijadikan indikator adanya perubahan aktivitas gunung berapi. Jika magma dari dalam bumi naik ke permukaan, maka batuan di sekelilingnya akan menerima tekanan yang lebih tinggi dan apabila kekuatan batuan di sekitar kantong atau saluran magma terlampaui, maka batuan tersebut akan retak dan terjadilah gempa. Perubahan jumlah dan jenis gempa per satuan waktu serta sebaran hiposenter adalah parameter penting untuk peramalan erupsi gunung berapi.

Kegempaan di Gunung Merapi dipantau melalui jaringan seismik yang tersebar di sekeliling gunung dengan tujuan lokasi gempa dapat ditentukan dengan lebih teliti. Adapun gempa- gempa yang dipantau adalah gempa-gempa yang terjadi secara alamiah, terutama yang berkaitan dengan aktivitas gunung berapi. Agung memaparkan alat untuk memantau aktivitas kegempaan itu disebut dengan seismograf.

“Terdapat 10 stasiun seismik untuk memantau seismisitas Merapi. Empat stasiun seismik dengan sistem trans misi analog menggunakan seismometer periode pendek natural. Stasiun-stasiun tersebut ada lah Pusunglondon, Klatakan, Plawangan, dan Deles. Enam stasiun, yaitu Woro, Pasarbubar, Jurang grawah, Gemer, Cerme (di luar peta), dan Labuhan merupakan stasiun seismik digital dengan meng gunakan sistem transmisi digital,” jelas dia.

Aktivitas seismik yang terukur oleh seismograf ada beberapa macam. Pertama, gempa volcano tectonic tipe A (VTA). Gempa itu berasal dari kedalaman 2 sampai 5 kilometer. Kedua, gempa volcano tectonic tipe B (VTB). Gempa jenis itu bersumber di kedalaman kurang dari 2 kilometer di bawah puncak. Ketiga, gempa multi phase (MP), merupakan gempa yang terjadi di kubah lava. Pada saat kubah lava tumbuh cepat, frekuensi gempa MP dapat mencapai 700 kali per hari.

Tampaknya gempa itu terjadi pada kerakkerak kubah lava yang bergesekan pada saat kubah tumbuh. Aktivitas gempa lainnya ialah gempa low frequencies (LF). Gempa LF memunyai frekuensi dominan sekitar 1,5 hertz. Gempa LF mengindikasikan mulai terbentuknya kubah lava baru. Kelima, guguran lava atau material dari puncak Merapi yang menuju ke lereng terlihat pada rekaman seismogram sebagai sinyal gempa dengan durasi yang panjang.

Keenam, tremor yang memiliki frekuensi tinggi berkaitan dengan kejadian erupsi. Sebelum letusan, sering tercatat adanya tremor dengan frekuensi tinggi. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan, apabila letusan telah terjadi apakah berarti seismograf yang dipasang di atas Merapi rusak? Agung menyatakan alat-alat itu dipasang di area yang sebelumnya sudah diteliti tidak akan dilewati oleh tumpahan materialmaterial akibat erupsi.

Deformasi dan Geokimia

Parameter lain yang dapat pula digunakan untuk memantau perkiraan terjadinya letusan gunung berapi ialah laju deformasi atau penggemukan badan gunung. Hal itu diperlukan untuk mengetahui seberapa banyak magma yang tersimpan di badan gunung. “Ini adalah komplementernya seismik. Dalam memantau aktivitas gunung berapi tidak cukup digunakan satu metode, tetapi harus ada kompilasinya,” kata Agung.

Alat untuk mengukur deformasi, disebut sebagai reflector electro opting distance measurement (EODM). Alat itu dapat mengukur jarak yang dipasang mengelilingi tubuh gunung berapi. Sementara itu, tiltmeter merupakan alat untuk mengukur kemiringan tubuh gunung. Agung menjelaskan cara kerja tiltmeter didasarkan pada sifat material sebuah benda. Sebelum retak, material biasanya akan mengalami percepatan.

Ciri percepatan adalah grafik deformasinya makin tajam. Untuk tiltmeter yang dipasang di sisi gunung yang diperkirakan men jadi arah erupsi, pengukuran di lakukan dengan menggunakan waterpass yang diubah menjadi vol tase yang kemudian dikalibrasi dengan ukuran sudut. Karena EODM dipasang mengelilingi badan gunung dan tiltmeter dipasang di sisi erupsi gunung, maka apabila erupsi sudah terjadi, pemantauan deformasi sudah tidak bisa dilakukan.

Sesudah erupsi, kata Agung, yang diandalkan adalah seismisitas, pengamatan visual, citra satelit, dan geokimia. Pengamatan geokimia dilakukan dengan correlation spectrometer (cospect), dan mini-DOAS (miniature- deferential pptical absorption spectrometer) untuk mengukur kadar emisi sulfur oksida (SO2).

Seiring meningkatnya aktivitas gunung berapi, maka dipastikan meningkat pula suplai SO2 dari kawah magma. Untuk memantau aktivitas Gunung Merapi, peralatan tersebut dipasang di pos Jrakah, sekitar 7 kilometer dari puncak gunung. (koran-jakarta.com/ humasristek)


Ristek

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...