Latif Adam, Peneliti Ekonomi LIPI
Sebagai salah satu negara G20, Indonesia tentu berharap bisa memberikan kontribusi yang signifikan pada pertemuan KTT G20 di Seoul, Korea Selatan, 11-12 Desember 2010 ini. Namun, dengan pembangunan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan negara lain, Indonesia sepertinya belum terlalu diperhitungkan. Berikut paparan Latif Adam tentang kiprah Indonesia di G20 kepada wartawan Republika, Teguh Firmansyah, Kamis (11/11).
Bagaimana peran Indonesia dalam pertemuan G20 di Seoul?
Masih belum memberikan kontribusi yang signifikan. Indonesia secara nilai pembangunan ekonomi masih jauh di bawah negara-negara G20 lainnya. Karenanya, penting bagi Indonesia untuk berkoalisi dengan negara berkembang lain, seperti India dan Cina. Tujuannya, agar dapat mewujudkan keseimbangan neraca perdagangan sehingga tidak merugikan negara-negara emerging market.
Adakah isu krusial yang menjadi bahan perdebatan?
Isu penting dalam pertemuan G20 masih akan berkutat pada perang mata uang dan kaitannya dengan keseimbangan neraca perdagangan. Cina sepertinya belum akan sepakat untuk menguatkan nilai mata uangnya. Soal mata uang, mereka mempunyai agenda sendiri.
Lalu, bagaimana negara maju seperti AS?
Mereka tentu tidak akan tinggal diam; mereka akan melanjutkan kebijakan quantative easing untuk men-counter Cina. Dengan kebijakan ini, Bank Sentral membeli aset keuangan dalam bentuk obligasi negara. Nilainya sekitar 600 miliar dolar. Harapannya, suku bunga akan turun dan menggerakan sektor riil.
Selain dapat melemahkan nilai dolar karena membanjirnya uang dipasar, hal ini tentu berdampak kepada larinya modal ke negara-negara emerging market dan juga ke Indonesia. Itulah mengapa capital inflow (hot money) masih berpotensi untuk terus masuk ke dalam negeri.
Mungkinkah ada kesepakatan pembatasan surplus perdagangan?
Sulit untuk dilakukan. Harus diakui, Amerika ingin agar defisit neraca perdagangannya dapat turun. Amerika yang sebelumnya selalu menjadi pasar, kini berharap supaya negara-negara berkembang bisa bersikap sebaliknya. Berubah dari sebelumnya yang sekadar produsen jadi konsumen, mau menjadi pasar bagi komoditas mereka. Ini masalah pelik.
Pembatasan ekspor Indonesia ke AS?
Sepertinya itu juga akan sulit. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat umumnya berupa bahan-bahan primer, yang itu sangat berguna bagi pertumbuhan industri mereka. Kalau pun disepakati, pembatasan itu berupa barang hasil industri. Dan, ini tidak menguntungkan kita. [ed: zaky al hamzah]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment