TEMPO Interaktif, Bandung - Tumbukan lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia diduga kuat menjadi penyebab aktifnya gunung-gunung api di Indonesia akhir-akhir ini, termasuk Merapi. Pasalnya, gunung api itu berada di zona subduksi atau tumbukan yang sama.
Pakar gempa bumi dari Institut Teknologi Bandung Sri Widiantoro mengatakan gunung api seperti Anak Krakatau, Papandayan, dan Merapi, berada di satu zona subduksi lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Walau berada di jalur yang sama, ia sepakat dengan kalangan ahli geologi yang menyatakan tidak ada hubungan peningkatan aktivitas antar gunung.
“Dapur magma setiap gunung itu lokal saja sifatnya, tapi semua magma berada di zona tumbukan yang sama,” katanya, hari ini. Pergerakan lempeng di zona subduksi yang sedang meningkat itulah yang membangunkan gunung-gunung api yang kurang aktif.
Dalam kurun 50 tahun terakhir, guru besar bidang seismologi itu menjelaskan aktivitas lempeng saat ini tergolong luar biasa. Alasannya, subduksi mampu menimbulkan gempa besar dan tsunami di Aceh, tsunami Mentawai, dan letusan Merapi yang hebat.
Besarnya pergerakan lempeng kali ini, kata dia, harus diukur oleh ahli geodesi atau juga memakai Global Positioning System (GPS). Sejauh ini, di sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa, misalnya, lempeng Indo Australia bergerak mendesak lapisan Eurasia rata-rata 7 sentimeter per tahun. Namun di wilayah Indonesia timur, pergerakannya lebih cepat, yaitu 10 sentimeter per tahun.
Walau pergerakan lempeng bisa berdampak pada aktivitas gunung api dan mengakibatkan gempa bumi, namun dia membantah anggapan sebagian orang yang mengira aktivitas gunung api akan menimbulkan atau menjadi pertanda kemunculan gempa besar. Gempa vulkanik gunung api, menurut dia, terlalu kecil untuk membangkitkan gempa tektonik. “Apakah sebelum gempa besar ada gunung yang meletus? Malah setelah gempa Aceh, gunung-gunung api lainnya jadi aktif kan,” katanya.
Sri Widiantoro memperkirakan gempa disertai tsunami di Mentawai 25 Oktober lalu, besar kemungkinan memicu peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau akhir-akhir ini karena jaraknya cukup dekat. Tapi kecil kemungkinan ikut mendorong Merapi meletus lantaran jaraknya yang jauh.
Adapun peneliti hujan asam di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bandung, Tuti Budiawati, mengatakan, dalam kurun 3 tahun terakhir, terlihat ada pola puncak peningkatan aktivitas gunung-gunung api di Indonesia. Hal itu terlihat dari semburan gas belarang atau sulfur dioksida (SO2) yang tinggi ke udara. “Puncaknya selalu pada musim hujan, antara Oktober hingga Januari,” kata Tuti di kantornya. [ANWAR SISWADI]
• TEMPOInteraktif
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment