Wednesday, 10 November 2010

Kiprah Pesawat Amfibi di Nusantara

Dua pesawat amfibi jenis Be-200 asal Rusia di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu.

Semasa era Hindia Belanda, kepulauan terdepan Nusantara dijangkau dengan pelbagai sarana transportasi, seperti pelayaran terjadwal kapal-kapal uap Koninklijke Paketvaart Maatschappij hingga pesawat-pesawat amfibi yang bisa mendarat di air.

Satuan pesawat amfibi milik Militaire Luchtvaart (Dinas Penerbangan Militer) dan Angkatan Laut Hindia Belanda (Koninklijke Marine) menjangkau pulau-pulau terluar, seperti Kepulauan Mentawai di pesisir barat Pulau Sumatera.

David Mondey dalam buku Axis Aircraft of World War II menulis, Kerajaan Belanda secara khusus memesan pesawat Dornier Do 24 dari Jerman. Sebagian pesawat dibuat berdasarkan lisensi di De Schelde. Schelde merupakan kawasan industri dan galangan kapal yang hingga kini memasok sebagian kebutuhan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Dornier 24 mengusung tiga mesin dan didesain untuk dioperasikan di Hindia Belanda pada tahun 1935. Dornier 24 menggantikan peran pesawat amfibi Dornier Wals.

Semula dipesan 48 unit pesawat Do 24. Sebanyak 25 pesawat diserahkan kepada Kerajaan Belanda dan dikirim ke Nusantara. Perang Dunia II keburu pecah di Eropa, Belanda pun diduduki Jerman. Sebanyak 11 Dornier 24 yang sedang dibangun di Schelde itu pun disita pihak Nazi.

Legenda Catalina

Selain Do 24, semasa penjajahan hingga tahun 1980-an turut dioperasikan pula pesawat amfibi legendaris buatan Amerika Serikat, yaitu Consolidated PBY Catalina. David Mondey dalam buku American Aircraft of World War II mencatat, PBY Catalina adalah pesawat amfibi dengan populasi terbanyak di dunia. Diperkirakan lebih dari 4.000 unit Catalina dibuat di sejumlah negara.

Catalina memiliki jasa besar dalam Perang Pasifik. Catalina bersama Dornier 24 menjalankan peran penting sebagai pesawat intai, evakuasi, dan menurunkan bantuan. Tercatat Catalina beroperasi di danau di sekitar Pangalengan dan Situ Bagendit di Jawa Barat menjelang jatuhnya Pulau Jawa.

Steve McCormack dalam buku You Will Die in Singapore menulis betapa dia dan para pelarian dari pertempuran Singapura yang terapung-apung di Selat Malaka diselamatkan pesawat amfibi Hindia Belanda. Pesawat-pesawat amfibi digunakan untuk mengevakuasi warga dari pelbagai tempat.

Sejarawan Didi Kwartanada mencatat, tokoh nasional yang dibuang di Banda Neira juga diungsikan Hindia Belanda dengan pesawat amfibi.

Setelah era kemerdekaan, TNI AU mengoperasikan Catalina hingga tahun 1980-an. Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Bambang Samoedro menerangkan, pesawat amfibi bernaung di bawah Skuadron Udara Intai 5 di Malang.

”Pesawat yang digunakan adalah PBY Catalina dan Grumman Albatros. Sekarang sudah tidak ada lagi pesawat amfibi dioperasikan TNI AU,” kata Bambang Samoedro.

Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo yang ditemui akhir Oktober 2010 mengatakan, keberadaan pesawat amfibi merupakan salah satu sarana penting untuk menjangkau kepulauan terdepan di Indonesia. ”Pesawat amfibi memiliki peran penting dalam tanggap darurat,” kata Dudi.

Salah satu contoh adalah penanganan kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan Timur tahun 1997. ”Waktu itu disewa pesawat amfibi water bomber Beriev 200 buatan Rusia. Pesawat itu juga memiliki bucket untuk mengangkut air Sungai Mahakam atau dari danau yang ditumpahkan ke sumber api,” kata Dudi yang ikut meliput dalam operasi pemadaman kebakaran hutan tersebut.

Pesawat sejenis yang populer di dunia saat ini adalah Bombardier CL-142 buatan Kanada. Jepang juga memiliki pesawat sejenis, yakni Shinmewa yang merupakan turunan dari tipe pesawat amfibi yang mereka gunakan semasa Perang Dunia II, Kawanishi.

Pesawat amfibi, ujar Dudi, dapat digunakan untuk mengedrop tenaga bantuan, logistik, hingga evakuasi medis secara cepat.

Solusi tanggap darurat

”Kita belajar berulang kali terjadi bencana di daerah terpencil dan penanganan lambat karena ketiadaan sarana transportasi yang memadai. Pesawat amfibi merupakan salah satu solusi tanggap bencana dalam waktu dekat. Pesawat amfibi dalam situasi normal dapat digunakan untuk angkutan penumpang dan barang di tempat-tempat terpencil,” tutur Dudi.

Seperti kendaraan Hagglunds milik Palang Merah Indonesia yang dioperasikan di kaki Gunung Merapi, pesawat amfibi adalah salah satu sarana tanggap bencana yang dapat menjangkau medan-medan berat dan terpencil. (IWAN SANTOSA)


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...