0

RADIOFARMAKA UNTUK DETEKSI DAN TERAPI KANKER















Para peneliti anak negeri di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah mampu membuat dan mengembangkan radiofarmaka, yaitu obat untuk deteksi dini dan terapi penyakit kanker. Dr. Abdul Mutholib, Kepala Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR) BATAN menjelaskan Radiofarmaka adalah atom yang memancarkan radiasi untuk mendeteksi kanker dalam tubuh, karena memiliki daya tembus yang tinggi.
Radiofarmaka berperan untuk deteksi/diagnosa dan pengobatan/terapi penyakit kanker.

Mutholib mengungkapkan saat ini, para peneliti di PRR BATAN mengembangkan “Targeted Radiofarmaka” yaitu Radiofarmaka terarah yang mampu melihat dan membunuh sel kanker dalam tubuh manusia tanpa operasi. Disebut terarah karena tidak mengganggu organ tubuh yang sehat lainnya. Atom yang menyusun molekul obat tersebut adalah atom radioaktif. Secara populer dalam atom radioaktif tersebut terdapat radioisotop dan radionuklida. Radioisotop memancarkan sinar gamma untuk mendeteksi dan sinar beta untuk terapi.

Cara kerja : obat radioisotop/radiofarmaka dimasukkan (oleh Dokter) ke dalam tubuh pasien umumnya melalui injeksi, meskipun dapat melalui oral/diisap. Setelah 5 menit hasil diagnosa akan terlihat di mana saja penyebaran sel kanker (sel kanker yang kecil maupun besar). Untuk pengobatan/terapi, Radiofarmaka dapat membunuh semua sel kanker secara terarah tanpa mengganggu atau merusak sel/organ tubuh yang sehat.

Sebagai obat, kata Mutholib Radiofarmaka selain digunakan untuk keperluan penyembuhan atau terapi penyakit kanker, digunakan juga untuk menghilangkan rasa sakit, juga digunakan untuk keperluan diagnosa berbagai jenis penyakit, mis. penyakit jantung. Radiofarmaka tersebut terakumulasi di jaringan atau sel yang menjadi sasaran untuk tujuan diagnosa atau terapi menjadi sangat akurat.

Menurut Mutholib, dari sudut keselamatan, Radiofarmaka sangat tinggi karena bisa menembak sel kanker yang kecil dan yang besar. Radiofarmaka dapat memberikan harapan hidup pada pasien, karena apabila telah dideteksi dini, maka pengobatan akan dilakukan lebih awal dan lebih sederhana, serta biaya lebih murah.

Radiofarmaka buatan BATAN ini telah ada dan digunakan di RSCM, RS Darmais, RS Harapan Kita, RSPAD, RS Hasan Sadikin Bandung, dan RS Gading Pluit. Dan PRR BATAN telah melakukan MOU dengan PT Kimia Farma, dan akan melakukan MOU dengan Badan POM.

Mutholib menyatakan, BATAN memiliki fasilitas reaktor nuklir dan cyclotron yang berada di kawasan Puspiptek, Serpong. Melalui fasilitas tersebut BATAN mampu menyediakan radioisotop, baik pemancar partikel bermuatan, seperti beta negatif atau alfa, maupun pemancar sinar-y atau pemancar positron. Saat ini, BATAN telah mampu mengembangkan maupun membuat radiofarmaka terapi dan diagnosa yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir maupun onkologi radiasi. Tentunya kalau fasilitas kedokteran nuklir dan onkologi radiasi cukup merata ada di sebagian besar wilayah Indonesia, maka pelayanan kesehatan akan lebih baik dan mungkin tidak perlu lagi ada pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri.

Ke depan, Mutholib mengharapkan Pemerintah, dalam hal ini Depkes mendorong fasilitas agar Radiofarmaka digunakan di Indonesia. Kemudian Perusahaan Asuransi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, a.l. berupa jaminan pelayanan kesehatan.(gs-adpkipt)

INDOTECH
0

ITS Resmikan NasDEC

ITS Resmikan NasDEC

Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) memiliki National Ship Design and Engineering Center (NasDEC) atau Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional. Proyek besar itu merupakan hasil kerja sama ITS dengan Departemen Perindustrian. Pada 29/1, gedung NasDEC diresmikan Menteri Perindustrian RI Fahmi Idris. NasDEC di kampus ITS tersebut baru pertama ada di Indonesia. Sampai 2009, NasDEC masih dikelola bersama dengan Departemen Perindustrian.

NasDEC
tersebut menyediakan jasa pembuatan desain kapal. Mulai konsep, detail, hingga gambar produksi. Desain kapal itu pun beragam. Di antaranya, kapal nelayan, tanker, penyeberangan, penumpang barang, pengawas, patroli, dan kontainer. Selain desain kapal, NasDEC didirikan untuk penelitian dan pengembangan desain produk kapal yang inovatif.

Ketua Pengelola NasDEC Tri Wilaswandio mengatakan, pembangunan proyek NasDec itu diharapkan bisa menjadi sarana kegiatan terstruktur, sistematik, dan terorganisasi secara nasional. "Desain dan rekayasa kapal tersebut mampu bersaing di pasaran nasional dan internasional dari aspek mutu, biaya, dan waktu," ungkapnya seperti dikutip dari Jawa Pos.

Gedung NasDEC dibangun dengan dana Rp 13 miliar. Pihak ITS menyiapkan SDM (sumber daya manusia), sementara biaya investasi awal dan operasional awal didanai Departemen Industri sampai 2009.**

technologyindonesia
0

ISRA Radar Pengawas Pantai Buatan LIPI

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan prototipe I dari Radar Pengawas Pantai yang diberi nama Indonesian Scientific Journal Database (ISRA) sebagai radar pantai pertama buatan Indonesia.

Kepala LIPI Prof. Umar Anggara Jenie dalam acara peluncuran yang dilakukan di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang, Jawa Barat (Jabar) mengatakan terciptanya radar pertama Indonesia ini merupakan bukti bahwa peneliti Indonesia mampu membuat alat berteknologi tinggi. Acara tersebut digelar dalam rangkaian ulang tahun ke-42 LIPI.

"Daripada kita harus membeli peralatan teknologi ke luar negeri dengan harga mahal, lebih baik mendorong peneliti bangsa untuk membangun kemandirian bangsa," kata Umar hari ini.
Peneliti pada Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI Mashury Wahab menjelaskan penelitian ini dilakukan selama 3 tahun. "Kami memiliki tim peneliti sebanyak 20 orang untuk penelitian dan pengembangan ISRA ini," ungkap Mashury.

Sebelumnya, katanya, para peneliti tersebut diberi bantuan oleh Pemerintah Belanda untuk pendidikan dasar. "Setelah mendapatkan dasar pendidikan kemudian kami aplikasikan dan kembangkan," lanjutnya.
Radar pengawas pantai ISRA ini, kata Mashury, menggunakan teknologi Frequency-Modulated Continuous Wave (FM-CW) sehingga konsumsi daya dan ukuran radar menjadi lebih kecil. "Mekipun dalam ukuran yang kecil tetapi tidak mengurangi keunggulan-keunggulan yang dimiliki radar ini," ujarnya.
Salah satu fungsi radar pengawas pantai ini, katanya, adalah mendeteksi keberadaan kapal di laut yang sedang mendekat. "Radar ini akan mendeteksi kapal yang berada dalam jangkauan kerja radar ini yang kemudian akan ditampilkan di monitor," katanya.

Dia menambahkan bahwa radar tersebut mampu mendeteksi hingga jarak 64 km. Sebetulnya, kata Mashury, teknologi radar pengawas pantai ini akan terus dikembangkan hingga radar jenis tiga. "Kami masih terus mengembangkan beberapa jenis radar semacam ISRA yaitu satu jenis direncanakan selesai pada 2010 dan satu jenis lagi selesai pada 2011," katanya.
Seluruh radar akan bekerja secara berhubungan. "Kelak ketiga radar ini akan bekerja secara berhubungan sehingga kita tidak perlu memantau langsung ke lokasi penempatan radar karena telah terhubung melalui monitor," jelasnya.
Beberapa komponen dalam radar itu, katanya, masih harus diimpor. "Terdapat 60 persen komponen radar ISRA yang diimpor dari luar negeri," ujarnya.
Untuk penelitian dan pengembangan radar tersebut Mashury menjelaskan bahwa pihaknya telah mengeluarkan dana hingga Rp3 miliar. "Dana ini terbilang efisien dibandingkan dengan biaya radar yang harus dibeli dari Polandia dengan harga mencapai Rp9 miliar," tutur Mashury.(yn)

SPESIFIKASI

Memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer tidak mudah bagi Indonesia mengawasi aksi ilegal dan terjadinya kecelakaan serta pencemaran laut. Dengan mengoperasikan radar, petugas patroli dan pengawas pantai dapat mengamati dan kemudian mengatasi masalah tersebut dengan cepat.

Keberadaan sistem radar dalam memantau kondisi lalu lintas laut dan udara memang sangat penting untuk menekan kasus kecelakaan di sektor transportasi. Kecelakaan di laut berpotensi menimbulkan pencemaran akibat tumpahan minyak dari kapal. Apalagi, jika kecelakaan menimpa kapal tanker seperti yang pernah terjadi di Selat Malaka dan Pelabuhan Cilacap beberapa tahun lalu.

Sayangnya, radar yang digunakan untuk pemantauan lalu lintas pelayaran saat ini telah ketinggalan zaman. Selain itu, jumlah dan kemampuannya juga amat terbatas. Maka, untuk memantau wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara tetangga, misalnya Singapura, pihak Indonesia mengandalkan sarana pemantau milik negara tetangga ini.

Saat ini dengan meningkatnya arus lalu lintas kapal laut di wilayah jalur pelayaran yang padat di Indonesia, dukungan sistem pengawas dan pemantau lalu lintas tidak hanya perlu ditingkatkan jumlahnya, tetapi juga kemampuannya.

Menurut Syahrul Aiman, Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI, kebutuhan radar di Indonesia mulai dari 800 hingga 900 buah, tetapi jumlah yang terpasang saat ini masih di bawah angka 30 dan semuanya buatan asing. Di antaranya adalah delapan radar buatan AS yang dipasang di sepanjang Selat Malaka. Harganya per unit 8 miliar dollar AS.

Karena fungsi radar sangat penting untuk transportasi laut dan udara, tambah Syahrul, perlu dilakukan pengembangan kemampuan dalam negeri Indonesia sendiri untuk penyediaan radar secara mandiri.

Selama ini ia melihat prosedur pembelian radar dari luar negeri sulit karena bersifat strategis, selain harganya yang mahal. Hal ini menjadi hambatan bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan peralatan radar. Hal inilah yang mendorong LIPI mengembangkan prototipe radar sendiri untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Radar modern

Melakukan penelitian, rancang bangun sejak tahun 2006, Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI berhasil menciptakan radar pengawas pantai.

Radar ini menggunakan teknologi modern, yaitu frequency- modulated continuous wave (FM-CW) sehingga konsumsi daya dan ukuran radar menjadi lebih kecil dibandingkan dengan tipe yang konvensional, tanpa mengurangi kinerja standarnya.

Mashury Wahab, Koordinator Peneliti Radar LIPI, menjelaskan, radar yang dapat memantau hingga radius 64 kilometer ini hanya menggunakan daya 2 watt, sedangkan sistem yang lama yang menggunakan tabung magnetron memerlukan daya hingga 10 megawatt.

Pembuatan radar ini melibatkan pihak TU Delf Belanda dalam desain dan teknisnya, tetapi peranti lunaknya dikembangkan sendiri oleh peneliti LIPI. Sistem karya LIPI ini memiliki kandungan lokal 40 persen. Dengan memanfaatkan potensi lokal, harga radar yang bisa mencapai lebih dari 8 miliar rupiah itu dapat direduksi hingga 40 persen, jelas Mashury, doktor bidang pemroses sinyal dari Curtin University of Technology Australia.

Prototipe tersebut, yang dikembangkan sejak tahun 2006, awal Mei ini mulai diuji coba di Bandung dan di Pelabuhan Merak Banten untuk memantau lalu lintas kapal. Ketika itu hasilnya menunjukkan bahwa alat tersebut masih memerlukan penyempurnaan dalam hal tampilan dan peranti lunaknya. Setelah mendapat perbaikan pada uji coba di Pantai Anyer pada Desember 2009, hasilnya baik.

Radar pantai buatan LIPI tersebut memiliki daya jangkau hingga 60 kilometer. Namun karena faktor kelengkungan horizon, radar itu hanya dapat melihat kawasan sejauh 30 kilometer, tambah Hiskia Sirait, Kepala Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI.

Jejaring radar

Pengembangan sistem radar di dalam negeri, lanjut Syahrul, memungkinkan pengembangan jejaring radar di Indonesia dapat ”berkomunikasi” karena menggunakan sistem yang sama. Hingga tahun 2014, LIPI akan mengembangkan jejaring radar pengamat pantai dengan sistem tersebut.

Untuk fabrikasi karya inovasi ini, telah ada beberapa industri nasional yang berminat. Selain itu, saat ini juga telah ada permintaan nonformal dari pihak terkait, seperti TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Koordinasi Keamanan Laut, serta Kementerian Perhubungan.

Selain LIPI, sesungguhnya ada Divisi Radio & Communications System (RCS) dari PT Solusi 247 yang melibatkan peneliti lulusan ITB dan Universitas di Belanda yang juga berhasil mengembangkan radar navigasi kapal. Untuk ini, RCS juga menerapkan FM-CW pada radar tersebut. Pembuatan radar ini juga melibatkan peneliti LIPI dalam pengukuran dan pembangunan konstruksinya.

Indotech, KOMPAS
0

Pindad Siap Produksi Pistol Serbu Secara Massal

Jakarta (ANTARA News) - PT Pindad siap memproduksi massal pistol serbu kaliber 5,56x21 mm hasil rancangan Dinas Litbang TNI AD yang telah disertifikasi sejak awal 2008.

"Pistol ini siap diproduksi massal tergantung dari permintaan," kata Peneliti di Dinas Litbang TNI AD, Darmaji, kepada Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang mengunjungi anjungan dinas itu pada Pameran Ritech Expo 2008 di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, kebutuhan TNI akan pistol serbu mencapai ribuan, karena itu jika pistol serbu bisa diproduksi di dalam negeri, maka TNI yang tak memiliki banyak anggaran tak perlu mengimpor.

Pistol serbu tersebut memiliki panjang 315 mm, tinggi 165 mm dan tebal 41 mm, berat kosong 1,045 kg, dengan kapasitas magazen sebanyak 20 butir serta jarak tembak efektif 150 meter.

Sri Mulyani sempat mengacungkan pistol tersebut ke sasaran di dinding anjungan, namun tidak bersedia mencoba lebih jauh ketika ditawarkan untuk menembakkannya di tempat khusus yang akan disediakan.

Di setiap anjungan, Menteri selalu bertanya pada penjaganya apakah peralatan yang dipamerkan itu benar-benar buatan sendiri ataukah hanya barang impor, serta bertanya keberadaan inovasinya.

Di anjungan Dislitbang TNI AD itu digelar juga model senjata anti-tank, pistol mitraliur kaliber 9mm, dan prototipe amunisi meriam kaliber 76mm dan 57mm yang merupakan rancangan Dislitbang AD.

Menteri juga berpesan ke setiap anjungan di Ritech Expo 2008 itu agar terus melakukan inovasi dan jangan selalu bersandar pada barang-barang impor.

Sri Mulyani juga berkunjung ke Litbang Dephan, Dislitbang AL, Dislitbang AU, stand LAPAN, dan PT Dirgantara Indonesia.

Di Ritech Expo digelar juga pameran Balai Mesin Perkakas Teknik Produksi dan Otomasi BPPT, Pusat Penelitian Fisika LIPI, Deptan, hasil riset ITB, ITS, PT Inca, Dinas Litbang Provinsi, Riset Unggulan Strategis Nasional dan belasan lainnya. (*)

Antara
0

Desain & Teknologi

Len Industri konsisten kembangkan desain & teknologi

BANDUNG: PT Len Industri (Persero), badan usaha milik negara di bidang teknologi elektronika, akan terus konsisten mengembangkan desain inti dan teknologi baru, meskipun tingkat serapan di dalam negeri relatif masih rendah. Salah satu teknologi yang terus dikembangkan perusahaan ini adalah peralatan komunikasi tempur, di samping teknologi transmisi penyiaran.
"Kami sudah menggarap bidang usaha ini sejak lama dengan biaya investasi yang tidak sedikit. Pengembangan akan terus kami lakukan sekalipun serapan pasarnya belum optimal. Bagi Len, kedaulatan teknologi adalah di atas segalanya," ujar Direktur Utama PT Len Industri Wahyuddin Bagenda, kepada Bisnis akhir pekan lalu.

Dengan teknologi yang dikembangkannya itu, PT Len Industri tercatat menjadi satu-satunya BUMN yang memperoleh penghargaan Anugerah Rintisan Teknologi Industri 2009 dari Pemerintah.

Wahyuddin menjelaskan penghargaan tersebut diberikan atas inovasi produknya, Manpack Alkom FISCOR-100, yakni peralatan telekomunikasi untuk keperluan tempur.

"Penghargaan ini kami raih setelah melewati proses penilaian yang panjang, sejak Agustus 2009. Kami adalah satu-satunya BUMN yang meraih penghargaan tersebut karena tiga pemenang lainnya adalah perusahaan swasta," katanya.

Menurut dia, penghargaan yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, didasarkan pada empat kriteria utama yakni inovasi, proses produksi, komersialisasi, dan tingkat kandungan lokal.

"Pemerintah tidak hanya melihat kompleksitas, utilitas, kandungan lokal, dan kapasitas produksi, tetapi juga mempertimbangkan pangsa pasar serta dampaknya terhadap perekonomian nasional," ujarnya.

Dia memaparkan Manpack Alkom FISCOR-100 beroperasi pada rentang frekuensi 2 Mhz hingga 30 Mhz dengan 256 channel dengan kebutuhan pasokan tenaga 12 Vdc-24 Vdc. Peralatan ini bisa digunakan untuk komunikasi pada level pleton hingga batalion.

Kapasitas produksi Len untuk pesawat komunikasi jenis ini mencapai 1.000-1.500 unit per tahun. "Dengan perawatan yang telaten, usia penggunaan produk ini bisa mencapai puluhan tahun."

Teknologi produk tersebut pada awalnya dikembangkan bersama Pemerintah Australia, tetapi selanjutnya mitra kerja sama itu dialihkan kepada Thales, perusahaan elektronik terbesar di Prancis.

Wahyuddin menambahkan Len Industri memperoleh penghargaan Rintisan Teknologi Industri 2009 karena desain inti produk Manpack Alkom FISCOR-100 dikembangkan oleh teknisi lokal dari BUMN yang semula fokus di bidang transmisi penyiaran itu.

"Kerja sama yang ada [dengan perusahaan luar] hanya meliputi matrikulasi frekuensi radio yang belum bisa diimplementasikan di Indonesia serta tidak menyangkut kerahasiaan data telekomunikasi dari pesawat komunikasi tersebut," katanya.

Hal ini mengingat alat komunikasi pertahanan merupakan produk yang sepenuhnya dibuat secara rahasia oleh sebuah negara. "Ini demi menghindari tindakan jamming oleh musuh."

Oleh Muhammad Sufyan
Bisnis Indonesia

LEN
0

Turbin Angin

Turbin Angin Hembuskan Nafas untuk Industri Lokal


Jakarta - Sebuah perusahaan asal Indonesia mengembangkan turbin listrik tenaga angin yang nyaris sepenuhnya memanfaatkan komponen lokal. Teknologi turbin tersebut pun dinilai bisa menghembuskan nafas ekonomi di daerah tertinggal.

Turbin listrik tenaga angin sumbu vertikal itu dikembangkan oleh PT Quasar Mandiri. Dengan kemudahan merakitnya dari komponen lokal, Quasar berharap teknologi bernama Aerostellar ini bisa diadopsi di daerah-daerah tertinggal.

"Turbin angin milik kita perangkatnya 100 persen lokal. Hanya bagian magnet saja yang impor. Sisanya bahannya ada di pasaran," papar Yana S Rahardja, Managing Director PT Quasar Mandiri, saat berbincang dengan detikINET, Rabu (13/1/2010).

Pipa, besi dan aluminiumnya menurut Yana bisa didapatkan di pasaran. "Kami hanya membuat sayap, generator dan power controlnya saja. Sisanya bisa dibuat sendiri oleh siapapun," tuturnya.


Yana berharap dengan mudahnya merakit Aerostaller ini bisa menjadi solusi sumber energi aternatif yang murah dan mudah diimplementasikan oleh masyarakat. Karena, menurut Yana, dengan adanya listrik roda perekonomian bisa berjalan. "Dan kalau dilihat, daerah yang belum tersentuh listrik adalah daerah yang miskin. Seperti pesisir pantai, ini yang ingin kita dukung," ia menambahkan.



Yana mengklaim desain Aerostellar sangat cocok dengan karakteristik angin di Indonesia yang sering berubah-ubah arah serta rata-rata kecepatan angin di Indonesia yang relatif rendah. "Kecepatan 7 meter per detik itu sudah cukup untuk memutar turbin. Indikatornya bendera bisa berkibar. Itu cukup," katanya.

Masuknya Quasar ke bidang pembangkit listrik menurut Yana bukan berarti pihaknya meninggalkan basis di industri manufaktur. "Kita mau memajukan bangsa ini dengan teknologi. Tapi ngga ada listrik? Ya, kita harus masuk ke sana. Bukan sebagai mainstream tapi supporting product," ia menandaskan.( afz / wsh )

detikINET
0

IPTEK TTG : BAHAN BAKAR BIOGAS


Dalam sepuluh tahun terakhir ini, kita diharubirukan dengan kelangkaan demi kelangkaan bahan bakar minyak dan listrik. Minyak tanah menghilang, sekarang mulai diganti dengan gas elpiji dan kini Jakarta pun tidak luput dari pemadaman listrik secara bergilir, yang sebelumnya menjadi monopoli daerah-daerah, khususnya di luar Jawa. Ongkos yang harus dibayar dari pemadaman bergilir sungguh mahal, karena listrik menjadi urat nadi industri kecil hingga besar. Daging yang busuk karena pendingin mati berjam-jam. Pengrajin es balon yang mendadak kehilangan penghasilan suatu hari karena hal yang sama, hanyalah sebagian kecil ilustrasi ongkos pemadaman tersebut.

Berbagai analisis dan solusi diusulkan baik oleh para pejabat maupun pakar. Mulai dari yang nadanya pembelaan diri hingga usulan penggunaan pembangkit listrik tenaga surya. Sementara, di salah satu sudut kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan, Tim Biogas dari Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE) BPPT tengah mengotak-atik reaktor biogas mungil dan pembangkit listrik yang tak kalah mungil, cuma 700 watt.(ay).

Dr. Ir. M. Arif Yudiarto, M.Eng, Peneliti Utama di Pusat TPSE BPPT mengungkapkan, disaat kita kehilangan kesederhanaan berfikir, sehingga melupakan hal-hal yang kecil, muncul solusi memecahkan masalah kelangkaan listrik yang sudah demikian menggurita. Contohnya, ketika kita bicara pengadaan listrik 40.000 MW, yang ada di kepala kita hampir pasti 4 pembangkit x 10.000 MW. Kita hanya memikirkan pulau Jawa dan melupakan ada belasan ribu pulau lainnya yang memerlukan pembangkit listrik dengan daya jauh lebih kecil. Pembangkit kecil PLN sebenarnya sudah banyak tetapi tidak memadai lagi dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Bahan bakar minyak yang mahal karena harus menempuh perjalanan jauh untuk sampai ke lokasi dan tarif harga listrik yang berlaku secara nasional merupakan hambatan tersendiri dalam investasi pembangkit tambahan.

Arif dan Tim peneliti Teknologi Biogas Pusat TPSE menjelaskan Biogas merupakan salah satu bahan bakar gas yang dihasilkan dari proses fermentasi kotoran hewan. Biogas dapat digunakan di rumah tangga (untuk memasak), bahkan bisa juga digunakan untuk menyalakan generator listrik. Proses produksi biogas dari limbah pertanian dan peternakan ini dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam memproduksi listrik. Menurut Wid, harganya murah karena bahan bakunya berasal dari limbah. ”Kwlitasnya juga tidak kalah dengan BBM atau elpiji,” kata Nesha. Untuk penggunaan kompor di rumah tangga juga hemat dan dapat memasak dengan suhu hingga 700ÂșC, atau dengan 2 rice cooker. Layaknya elpiji, pembakaran gas methan menghasilkan api biru dan tidak mengeluarkan asap. ”Gas methane yang dihasilkan dari 40 kilogram kotoran sapi dapat digunakan untuk memanaskan kompor selama 6 jam,” tegas Kiki. Proses mikrobiologis di dalam reaktor akan menghasilkan gas methan dan kompos. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui selang ke penampung dari plastik berkapasitas 2.000 liter dan disalurkan ke kompor. Proses ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang terdapat pasokan kotoran sapi.

Arif menambahkan, dengan inovasi teknologi, produktifitas biogas dari kotoran sapi rata-rata hanya 0,2-0,3 m3/m3 volume reaktor/hari. Artinya hanya mampu menghasilkan listrik 0,25-0,4 kwh/m3 volume reaktor/hari. Dengan investasi Rp 1,5 juta per-m3 reaktor dan anggaplah 1 kwh dibeli PLN Rp 650/kwh, maka diperlukan waktu belasan tahun untuk kembali modal. Untuk mendapatkan pasokan gas sebanyak itu, kotoran sapi harus dicampur dengan air dengan perbandingan satu banding satu dan diaduk rata dalam tangki pengumpan dari tong besi yang dipotong. Kemudian, hasilnya dimasukkan ke dalam reaktor plastik berkapasitas 5.000 liter yang di dalamnya telah dihuni berjuta-juta bakteri Methanogenesis yang berkembang biak dari 25 liter bakteri starter yang telah dimasukkan.

Bukan hal baru lagi, kata Arif, tetapi mengulangi usulan yang sama oleh orang-orang yang beda, seringkali diperlukan. Pemerintah dan PLN sebaiknya bersikap realisitik dengan melibatkan masyarakat untuk ikut memproduksi listrik tanpa birokrasi yang berbelit-belit. ”Di Jepang, rumahtangga dapat menyumbang listrik tenaga surya meski hanya beberapa watt melalui sebuah inverter. Di Thailand, pembangkit-pembangkit listrik gasifikasi skala kecil menggunakan biomassa ranting-ranting kayu yang dipangkas secara periodik dapat disalurkan ke listrik negara dengan sistem bagi hasil. Tetapi yang terjadi di Indonesia, biogas dari pengolahan limbah dengan mekanisme pendanaan CDM harus diflaring (dibakar) di udara karena tidak yakin kalau dibuat listrik akan dibeli PLN. ”Jika dibandingkan, PLN memproduksi listrik dengan ongkos Rp 1100/kwh. Listrik dari biogas dan gas sintesis jauh lebih murah. Tetapi biogas tidak dibeli hanya karena dirasa masih kurang murah lagi harganya”, ungkap Arif.

Ke depan, kata Arif, BPPT sedang mengupayakan inovasi dari dua arah, yaitu meningkatkan produktifitas biogas menjadi 1 m3 biogas/m3 volume reaktor/hari dengan penambahan limbah pati dan protein yang tinggi produktifitasnnya dan menekan biaya investasi reaktor di bawah Rp 1 juta/m3 dengan bahan dan teknik konstruksi reaktor yang lebih murah. Dengan ini, secara tekno-ekonomi akan dapat lebih diandalkan. Yang jelas, biogas selama ini telah dibuktikan di banyak negara sebagai bahan bakar yang murah karena berasal dari bahan baku limbah pertanian, perkebunan dan agroindustri.(gs.dw-adpkipt).

Ristek