0

Kapal Patroli Cepat 38 Meter Aluminium ke 3 Pesanan Ditjen Bea & Cukai


Resmi Diberangkatkan Menuju Pangkalan Sarana Operasi Bea & Cukai Pantoloan, Palu – Sulawesi Tengah

Direktorat Jenderal Bea & Cukai kembali menerima Kapal Patroli Cepat 38 Meter Aluminium BC30003, kapal ke tiga dari tiga kapal yang dipesan dari PT PAL INDONESIA (Persero) yang pembangunanya telah mendapatkan dukungan pembiayaan dari Islamic Development Bank (IDB) untuk kemudian dioperasikan di Pangkalan Sarana Operasi Bea & Cukai Pantoloan, Palu - Sulawesi Tengah.

Thomas Sugijata, Direktur Jenderal Bea & Cukai Departemen Keuangan, menyampaikan saat peresmian pemberangkatan kapal di Dermaga Divisi Kapal Perang PT PAL INDONESIA (Persero), Kamis tanggal 1 April 2010, bahwa untuk masa kini dan mendatang tantangan tugas jajaran Ditjen Bea & Cukai semakin kompleks. Beban dan tugas dalam melaksanakan pengawasan penindakan dan penyidikan terhadap penyelundupan dan kegiatan perdagangan atau aktivitas illegal lainnya di laut terbuka semakin berat, terlebih lagi dengan luasnya perairan Indonesia yang mempunyai garis pantai lebih dari delapan puluh satu ribu kilo meter.

Oleh karenanya, upaya dari Departemen Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Bea & Cukai yakni secara bertahap melakukan penguatan dan peremajaan armada kapal patroli dalam rangka menjawab tantangan tersebut diatas. Yaitu mencegah penyelundupan di laut yang modus operandinya semakin beragam, serta luasnya wilayah yang rawan terhadap masuknya barang-barang illegal ke wilayah Indonesia melalui pantai memerlukan pengawasan sehingga dibutuhkan sarana pendukung Armada Patroli yang kuat guna memantau aktivitas perdagangan di banyak titik strategis.

Kapal Patroli ini merupakan jenis FPB 57 meter Aluminium yang rancang bangunnya dilaksanakan sendiri oleh PT PAL INDONESIA (Indonesia), hal ini merupakan bukti bahwa putra-putri bangsa sendiri telah mampu menguasai teknologi perkapalan yang tidak kalah dari karya bangsa lain.

Adapun ukuran utama Kapal Patroli Cepat 38 Meter Aluminium ini sbb :
Panjang keseluruhan : 42.00 meter
Panjang garis air : 38.00 meter
Lebar : 36.70 meter
Tinggi : 4,47 meter
Sarat air kekuatan : 1.85 meter
Sarat air desain : 65 meter
Kecepatan maks. Tidak kurang dari : 30 Knots
Compliment : 25 Orang.

pal.co.id


0

Panser 4x4 Amphibi buatan PT. Pindad


Panser 4x4 amphibi buatan Pindad (photo : Tomoyuki Hirase-Kaskus Militer)

Setelah sukses mengembangkan panser 6x6, BPPT bersama PT. Pindad mengembangkan panser amphibi 4x4 jenis angkut personil dengan mengakomodasi sistem suspensi independen yang dapat memberikan kenyamanan kepada penumpangnya. Tingkat kandungan lokal dari panser amphibi ini sudah lebih dari 60%. Di samping itu BPPT bersama PT. Pindad masih terus mengembangkan komponen-komponen lain yang akan meningkatkan kandungan lokal secara keseluruhan.

defensestudies

0

UGM Luncurkan Mobil Hemat Energi

Tim Semart Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta meluncurkan mobil hemat energi dan ramah lingkungan 'Semar' yang terbuat dari bahan komposit fiber dan berkonsep airfoil untuk mengurangi coefisien of drag (CD) dari kendaraan.

"Struktur rangka dari kendaraan SEMAR menggunakan kombinasi plat dan profil almunium yang didesain sedemikian hingga berat dan struktur bodi tidak lebih dari 25 kilogram," kata pembimbing Tim Semart UGM, Jayan Sentanuhady di Yogyakarta, Rabu (17/3).

Menurut dia pada peluncuran mobil Semar, kendaraan tersebut memiliki panjang total 2,7 meter, tinggi 0,8 meter, dan lebar total 0,88 meter yang didesain dengan tiga roda berpenggerak roda belakang dan steering roda depan.

"Sebagai penggerak mula digunakan mesin 4-tak bersilinder tunggal dengan kapasitas 25 cc yang mengaplikasikan sistem injeksi yang dapat diprogram. Dengan sistem itu diharapkan konsumsi bahan bakar dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan riil," katanya.

Dengan konsep itu, tambahnya, kendaraan tersebut diharapkan dapat melaju dengan konsumsi bahan bakar seminimal mungkin, sehingga menjadi kendaraan ramah lingkungan. Kendaraan itu diharapkan dapat menempuh jarak 1.000 km dengan konsumsi bahan bakar satu liter bensin.

Ia mengatakan, kendaraan itu siap diikutkan dalam ajang Shell Eco-marathon (SEM) Asia 2010 di Sirkuit Sepang, Malaysia pada 8-11 Juli 2010.

"SEM Asia 2010 adalah ajang pendidikan yang bertujuan memotivasi kreativitas dan inovasi mahasiswa dalam menjawab tantangan di bidang kelangkaan energi di masa depan dengan menciptakan kendaraan yang dapat menempuh jarak terjauh dengan bahan bakar seminimal mungkin," katanya.

Rektor UGM Prof Sudjarwadi mengatakan, pembuatan Semar adalah contoh rintisan terpuji dalam perjalanan mahasiswa calon pemimpin bangsa pada bidangnya yang berambisi mengabdi pada kepentingan bangsa dan kemanusiaan.

"Partisipasi di SEM Asia 2010 sesuai dengan salah satu visi dan misi UGM sebagai salah satu universitas terkemuka di Indonesia menuju perguruan tinggi Tri Dharma yakni kampus kerakyatan, kampus sosiokultural, dan universitas riset," katanya.

Sementara itu, Country Chairman dan President Director PT Shell Indonesia Darwin Silalahi mengatakan, SEM memberikan kesempatan kepada generasi muda yang tertarik dengan teknologi, energi, dan transportasi sebagai sebuah wadah yang unik untuk menampilkan inovasi mereka.

"Kami bangga Tim Semart UGM sebagai salah satu dari sembilan tim dari Indonesia yang akan berlaga di SEM Asia 2010 sudah meluncurkan kendaraannya. Kami berharap ke-9 tim dari Indonesia, yakni UGM, ITS, UI, dan ITB dapat unjuk gigi dan berprestasi di tingkat internasional," katanya. (mediaindonesia.com/ humasristek)

ristek

0

Kerjasama Riset Indonesia - AS Dilanjutkan

Jakarta- Kementerian Riset dan Teknologi menandatangani kerja sama bilateral di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dengan Amerika Serikat (AS).(29/3) Kerjasama ini bukan yang pertama kalnya, namun sudah sejak 1978 dan diperpanjang sampai 2002. Pada 2008, kedua negara mulai mengkaji lagi kerja sama tersebut dan mulai diupayakan untuk diperbarui. Pada tahun 2010, rencananya kerjasama akan dilanjutkan sampai tahun 2015.

Menristek Suharna Surapranata menegaskan kerja sama AS-Indonesia menganut prinsip kesetaraan. "Indonesia juga memiliki sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya, sumber daya alam, dan sebagainya. Ini murni kerja sama yang setara," tegas Suharna.

Kolaborasi ini ujar Menristek,"Tidak pada posisi mendukung AS, namun untuk mendukung program iptek nasional." Dari 23 bidang kerjasama, 7 di antaranya selaras dengan program-program prioritas Kementerian Riset dan Teknologi, seperti kesehatan, pangan, teknologi informasi, transportasi, pertahanan, energi, dan lingkungan. "Bidang-bidang yang lain ditetapkan dengan mengakomodir kepentingan riset nasional dari Kementerian Ristek dan badan litbang lainnya di Indonesia dan sektor swasta."

Bidang lain meliputi bioteknologi, kelautan, pendidikan, standardisasi, dan meteorologi, iklim, cuaca, lingkungan, kehutanan, dan keanekaragaman hayati, kedokteran dan riset vaksn, keamanan pangan, riset kelautan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, kedirgantaraan, nano teknologi, ilmu material, dan kebencanaan menjadi fokus dari kerjasama tersebut.

Duta Besar AS, Cameron R Hume mengungkapkan, "Harapan dari kerjasama ini adalah menjadikan Indonesia sebagai mitra yang sejajar dalam framework yang lebih luas yaitu mensosialisasikan konsep green technology untuk mengantisipasi perubahan iklim dan pemanasann global."

Hume juga berharap dimasa mendatang, AS dapat mendirikan pusat riset di Indonesia, mengingat banyak peneliti AS yang mengajukan ijin penelitian. Data Sekretariat Perizinan Peneliti Asing Kementerian Ristek tahun 2008 menunjukkan ada 65 peneliti AS yang mengajukan ijin penelitian kepada Kementerian Ristek, dari total 321 ijin yang dikeluarkan untuk peneliti asing. Sedangkan untuk tahun 2009, 79 peneliti AS mengajukan ijin penelitian dari total 408 ijin penelitian asing baru.

Indonesia memanfaatkan peluang ini melalui pengiriman peneliti Indonesia ke AS dan optimalisasi program beasi
swa yang ada untuk meningkatkan kapasitas SDM Iptek Indonesia. (ap)

technologyindonesia

0

Upaya PT Dirgantara Indonesia Bertahan di Industri Pesawat Terbang

Bangkit Lewat Ketiak Sayap Airbus

Dalam beberapa kesempatan, Prof Dr Ing Bacharuddin Jusuf Habibie mengaku sangat kecewa melihat nasib PT Dirgantara Indonesia. Sebab, industri pesawat terbang yang dirintisnya itu kini jalan di tempat. Bagaimana kondisinya sekarang?

---

" KITA pernah mengembangkan sendiri pesawat terbang CN-235 dan N-250 untuk membuktikan bahwa SDM Indonesia mampu menguasai dan mengembangkan teknologi secanggih apa pun. Di mana itu semua sekarang?" tegas B.J. Habibie, mantan presiden RI, di depan peserta kuliah umum bertema Filsafat dan Teknologi untuk Pembangunan di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok, Jumat lalu (12/3).

Ya, PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memang tidak bisa dibandingkan dengan ketika perusahaan itu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dan Habibie masih menjabat presiden direktur. Saat itu IPTN memiliki 16 ribu karyawan. Kompleks gedung IPTN di kawasan Jalan Pajajaran, Bandung, berdiri megah, menempati lahan seluas 83 hektare.

Yang paling laris adalah pesawat CN-235. Pesawat berkapasitas 35 sampai 40 orang itu paling banyak diorder dari dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ada pesawat C-212 (kapasitas 19-24 orang). Produk chopper alias helikopter juga tak mau kalah. Ada NBO-105, NAS-332 Super Puma, NBell-412, dan sebagainya. Semua produk burung besi tersebut begitu membanggakan bangsa saat itu.

Namun, persoalan muncul saat krisis ekonomi menggebuk Indonesia pada 1998. Ketika itu, PT DI yang bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) mendapat order membuat pesawat N-250 dari luar negeri. Pesawat terbang ini berkapasitas 50 hingga 64 orang. Sebuah kapasitas ideal untuk penerbangan komersial domestik. Umumnya pesawat domestik di tanah air saat ini menggunakan pesawat dari kelas yang tak jauh berbeda dari N-250.

PT DI menerima pesanan 120 pesawat. Ongkos proyek yang disepakati USD 1,2 milliar. PT DI langsung tancap gas. Ribuan karyawan direkrut. Mesin-mesin pembuat komponen didatangkan. ''Kami berupaya keras menyelesaikan proyek itu sesuai target,'' tutur Direktur Integrasi Pesawat PT DI Budiwuraskito saat ditemui Jawa Pos di Bandung pekan lalu.

Namun, PT DI harus menelan pil pahit. Pemulihan krisis ekonomi bersama International Monetary Fund alias IMF mengharuskan Indonesia menerima sejumlah kesepakatan. Salah satunya, Indonesia tak boleh lagi berdagang pesawat. ''Itu benar-benar memukul kami,'' kata Budiwuraskito, pria Semarang ini.

Padahal, kata Budi, PT DI telanjur merekrut banyak karyawan. Sejumlah teknologi dan peralatan sudah didatangkan. Semua siap produksi. Pesawat contoh bahkan sudah jadi, sudah bisa terbang, dan siap dijual. Tinggal menunggu proses sertifikasi penerbangan. ''Nggak tahu, mungkin ada negara yang takut tersaingi kalau Indonesia bikin pesawat,'' ujarnya mengingat sejarah kelam PT DI itu.

Bayangan menerima duit gede USD 1,2 milliar menguap. Malah, PT DI harus memikirkan cara menghidupi karyawan yang telanjur direkrut. Proyek memang batal, tapi orang-orang yang hidup dari PT DI juga tetap harus dikasih makan. ''Akhirnya, mau tidak mau, kami mem-PHK karyawan secara baik-baik,'' katanya.

Pada 2003, PT DI memutus kerja sembilan ribu lebih karyawan. Jumlah itu terus bertambah. Dari 16 ribu pekerja, PT DI hanya menyisakan tiga ribu pekerja. Baik di bagian produksi maupun manajemen. Kondisi itu semakin membuat PT DI terpuruk. Apalagi, tak ada lagi order pesawat yang datang. Roda perusahaan pun tak berjalan.

Namun, PT DI berupaya mempertahankan diri. Semua pasar yang bisa menghasilkan duit disasar. Mulai pembuatan komponen pesawat hingga industri rumah tangga seperti pembuatan sendok, garpu, dan sejenisnya. Salah satunya membuat alat pencetak panci.

''Pabrik-pabrik pembuat panci itu kan perlu alat pencetak. Biasanya mereka impor dari luar negeri. Mengapa harus impor kalau bisa kita bikinin. Dan, itu lumayan untuk membuat roda perusahaan berjalan,'' kata Budi. Tapi, urusan panci itu tak banyak membantu. Pada 2007, BUMN yang didirikan pada 26 April 1976 itu dinyatakan pailit alias bangkrut.

***

PT DI tak lantas almarhum. Pemerintah masih punya keinginan mengembangkannya meski modal yang diberikan tak terlalu deras. Dan, kendati sudah dinyatakan pailit, masih ada rekanan dari mancanegara yang percaya akan kualitas produk PT DI.

Salah satunya British Aerospace (BAE). PT DI mendapat order sebagai subkontrak sayap pesawat Airbus A380 dari pabrik burung besi asal Inggris itu. Juga ada order dari dua negara Timur Tengah enam pesawat jenis N-2130. Apalagi, Indonesia sudah menceraikan IMF. Artinya, PT DI sudah leluasa berdagang pesawat.

Budi menuturkan, order enam pesawat itulah yang bisa dibilang ''menyelamatkan'' PT DI saat itu. Laba dari pesanan itu digunakan sebagai modal pengembangan. Selain itu, PT DI semakin fokus menggarap pasar komponen dan bagian-bagian pesawat dengan menjadi subkontrak atau offset program. Antara lain bagian inboard outer fixed leading edge (IOFLE) dan drive rib alias ''ketiak'' sayap milik Airbus A380.

Airbus A380 adalah pesawat bikinan Airbus SAS (Prancis) yang sudah kondang di jagat dirgantara. Pesawat ini biasanya digunakan untuk penerbangan internasional lintas benua dengan muatan 500 hingga 800 penumpang. ''Kita mencoba meraih untung dengan menjadi subkontrak dari pemain besar,'' kata Budi.

Kondisi PT DI terus membaik. Dalam waktu dekat mereka akan memproduksi pesawat tempur dengan dana urunan bersama pemerintah Korea Selatan (Korsel) sebesar USD 8 milliar. Indonesia menyumbang USD 2 milliar, sedangkan pemerintah Korsel USD 6 milliar. ''Tapi, untuk Indonesia itu akan kita konversikan dalam bentuk tenaga, teknologi, dan pengembangan pesawat tersebut,'' katanya.

Kemampuannya tak jauh berbeda dengan F-16 Fightning Falcon, pesawat tempur kondang buatan Amerika Serikat yang digunakan 24 negara di dunia. Rinciannya, 200 unit untuk Korsel dan 50 untuk Indonesia. ''Proyek ini memakan waktu sampai tujuh tahun,'' kata Budi.

Selain itu, order dari Timur Tengah terus berdatangan. Sejumlah negara memesan CN-235 untuk pesawat pengawas pantai, pengangkut personel militer, dan pemantau perbatasan. Dari dalam negeri, Kementerian Pertahanan (Kemhan) juga memesan enam unit helikopter dan Badan SAR Nasional (Basarnas) empat unit.

Budi mengakui, tren industri dirgantara di Indonesia terus naik kendati perlahan. Paling tidak, tujuh tahun ke depan, PT DI bisa meraup laba yang lumayan dari membuat pesawat. Sebenarnya, kata Budi, keuntungan itu bisa didongkrak bila ada keberanian mencari pinjaman. Tapi, itu bakal sulit. ''Tidak banyak bank yang mau. Sebab, risikonya terlalu tinggi. Padahal, semakin tinggi risiko, janji revenue juga besar,'' kata Budi yang lulusan Teknik Penerbangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan menyelesaikan gelar MBA di Belanda itu.

Strategi pengembangan PT DI saat ini, kata Budi, tak bisa terlalu ekspansif. PT DI memilih berjalan perlahan dengan memanfaatkan margin keuntungan sebagai modal pengembangan. ''Begini saja, lebih aman,'' kata Budi lantas tersenyum. (aga/c2/iro)

jawapos