Tuesday 15 March 2011

PLTN Indikasi Kuat Pengaruh Negara Kaya

Jakarta, Kompas - Keinginan kuat pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan indikasi kuatnya pengaruh negara-negara kaya yang tetap ingin mengeksploitasi sumber energi yang tersedia murah di Indonesia seperti batu bara dan gas alam.

Di sisi lain, kebutuhan akan energi yang dikatakan pemerintah sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan energi untuk kebutuhan masyarakat untuk kesejahteraan mereka, termasuk jasa publik.

Demikian antara lain rangkuman wawancara Kompas dengan Rinaldy Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga pengajar di Fakultas Teknik, Universitas Indonesia; pakar teknologi nuklir Iwan Kurniawan; serta Hendro Sangkoyo dari Sekolah Demokratik Ekonomika (SDE).

Pemerintah mengemukakan, rencana awal PLTN akan dibangun di daerah Muria, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Karena banyaknya tentangan dari masyarakat setempat, lokasi dipindahkan ke Bangka Belitung, yang disebut tidak rawan gempa.

Dari roadmap energi nasional 2010-2025 disebutkan, PLTN 1 beroperasi tahun 2016, PLTN 2 tahun 2017, PLTN 3 tahun 2018, dan PLTN 4 tahun 2019. Semua PLTN itu akan memasok 4-5 persen kebutuhan listrik di pulau-pulau Jawa, Madura, dan Bali. Pemerintah memproyeksikan pembangunan listrik berkapasitas 46.000 megawatt pada tahun 2025.

Pengaruh negara kaya

Keinginan kuat pemerintah membangun PLTN, menurut Rinaldy, adalah indikasi kuatnya pengaruh negara-negara kaya yang tetap menginginkan eksploitasi sumber energi murah di Indonesia, seperti batu bara dan gas alam. Sementara PLTN adalah urusan bisnis menguntungkan bagi negara-negara maju.

Hal senada diungkapkan Hendro Sangkoyo. ”Kualitas terbaik batu bara dijual ke negara-negara China, India, negara-negara Eropa, juga Australia dan Selandia Baru, sementara kita mendapat batu bara dengan kualitas buruk yang karbonnya besar. Kita lalu dikatakan kekurangan pasokan energi dan harus menggunakan teknologi nuklir, teknologi paling berbahaya itu,” katanya.

Menurut dia, krisis energi versi pemerintah tidak ada kaitannya dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. ”Yang dihitung adalah energi untuk kebutuhan komersial, bangunan, transportasi, dan industri. Bangunan komersial di Jakarta ada yang konsumsi energinya mencapai 13,5 megawatt per detik,” kata Hendro.

”Di bidang transportasi kita adalah captive market dari industri otomotif Jepang dan lain-lain. Sementara itu, tidak ada satu pun industri Indonesia yang merupakan industri unggulan. Semua industri kita adalah milik asing,” kata Hendro.

Rinaldy menyatakan, alasan lebih tepat untuk membangun pembangkit listrik adalah karena masyarakat butuh energi. Untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat tersebut, masih banyak sumber energi yang lebih aman. ”Hentikan ekspor batu bara dan gas alam, untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri,” katanya.

Tidak teruji

Iwan melihat, dari bencana PLTN Fukushima ada tiga hal yang bisa dipelajari, yaitu dari aspek bencana, teknologi, dan aspek manusia. Dari sisi teknologi, ujarnya, PLTN ternyata bukan teknologi yang sempurna. Jika harus dibangun, harus dipilih yang tepat lokasinya. Jika keliru pemilihan lokasinya, akan amat berbahaya.

Dia mengingatkan, PLTN Jepang dibangun dengan asumsi gempa 7 skala Richter. ”Gempa 8,9 skala Richter belum ada sejarahnya. Jadi desainnya menjadi keliru,” kata Iwan.

Untuk Indonesia, pemilihan lokasi di Bangka Belitung yang katanya tidak rawan gempa, menurut Iwan, sudah salah karena di Bangka Belitung pernah terjadi gempa 4,7 skala Richter tahun 2007.

Hendro mengingatkan, Pacific Rim (lingkaran Pasifik) secara geologis amat rawan gempa di mana pun lokasinya.

Bencana PLTN di Jepang menyusul gempa besar 8,9 skala Richter itu, menurut Iwan, merupakan bukti PLTN bukan teknologi yang teruji. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir, Pasal 4 Ayat 2 disebutkan, reaktor daya komersial hanya dibangun berdasarkan teknologi teruji. ”Untuk itu diberikan tenggang waktu dua tahun,” katanya.

”Lihat saja Jepang. Negara itu adalah negara maju, penguasaan teknologinya tinggi, PLTN sudah mereka tangani selama 39 tahun, toh bencana nuklir terjadi juga,” tutur Iwan.

Dia mengingatkan, teknologi nuklir tidak pernah sempurna. ”Dengan beranjaknya waktu, yang semula sempurna menjadi tidak bagus, tidak sesuai lagi dengan kondisi alamnya,” kata Iwan.

Sementara itu, dari sisi sumber daya manusia, ”Manusia Jepang adalah pekerja keras, dengan disiplin luar biasa tinggi, ternyata ketika terjadi bencana seperti itu juga kerepotan. Di sisi lain, sumber daya manusia Indonesia masih ceroboh, tidak hati-hati, apa bisa menangani kalau terjadi bencana seperti itu?

Membangun PLTN hanya akan mengakibatkan ketergantungan teknologi, dan ketergantungan sumber daya manusia, ”Pada tingkat tertentu pasti masih akan menggunakan tenaga asing,” kata Iwan.

Sebelumnya, Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata dalam kuliah umum di Institut Teknologi Bandung (ITB) mengemukakan, pemerintah tidak ingin tertinggal dari negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam, dalam mengembangkan PLTN.

”Kalau hanya karena takut tertinggal dari negara tetangga dijadikan alasan, itu akan makin membuat rencana pembangunan PLTN gagal,” kata Rinaldy.

Ketua Pengawas Masyarakat Peduli Energi dan Lingkungan (MPEL) Sutaryo Supadi mengatakan, pihaknya tetap mendukung rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Lokasi PLTN agar dipilih yang memiliki tingkat ancaman gempa paling rendah.

”Sebelumnya, saya bertugas jadi operator reaktor nuklir milik Badan Tenaga Nuklir Nasional untuk penelitian. Sebetulnya, sumber daya manusia kita sudah menguasai teknologi reaktor nuklir untuk PLTN,” katanya.

Menurut Iwan, reaktor nuklir milik Batan tujuannya adalah untuk penelitian. Hal itu, menurut Iwan, jelas berbeda dengan PLTN baik dari skala maupun teknologinya. (NAW/ISW)


KOMPAS

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...