Friday 8 March 2013

Jurnalis Media Online Hati-hatilah! Google Tak Bisa Hapus Berita Bermasalah


Google tak bisa hapus berita bermasalah
JAKARTA  - Keliru menulis berita dan dikomplain narasumber? Solusinya tentu Anda harus buru-buru meralat atau mengoreksi berita yang Anda bikin.

Tapi bagaimana kalau berita bermasalah itu sudah terlanjur masuk search engine-nya (mesin pencari data) Yahoo atau Google? Tentu yang terjadi adalah, Anda hanya bisa mengoreksi berita pada domain situs berita tempat Anda bekerja.

Sementara yang sudah masuk Yahoo atau Google tak bisa dikoreksi. Artinya, ribuan pembaca nun jauh di sana tetap bisa mengakses berita yang salah akurasi, atau salah mengutip narasumber, dan dikomplain pihak tertentu.

Nah, siapa yang bertanggungjawab dengan berita bermasalah yang terlanjur masuk Yahoo, Google atau mesin pencari data lainnya itu?

Inilah bahasan yang tak terpecahkan dalam diskusi tentang media online bertajuk, "Pertumbuhan Pengakses, Bisnis dan Problem Etika" yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Ford Foundation di Hotel Morrissey Jakarta, Kamis (7/3/2013).

Pihak Google Indonesia yang hadir dalam diskusi mengakui, betapa sulitnya menghapus berita bermasalah dari situs berita lain yang masuk ke Google. "Karena kami hanya bisa filtering berita, tapi bukan soal menyensor. Jadi sangat sulit bagi kami menghapus (berita bermasalah)," kata Shinto Nugroho, Kepala Kebijakan Publik Google Indonesia, salah satu pembicara.

"Karena yang dilakukan Google itu hanya agregasi berita, bukan menyensor," tutur Shinto. Lantas siapa bertanggungjawab dengan berita bermasalah yang secara 'abadi' terekam mesin pencari data itu?
Heru J Margianto, peneliti media online dari AJI Indonesia menuturkan, kewajiban mengoreksi berita yang bermasalah itu bagi jurnalis atau editor hanya sebatas pada domain media di mana mereka memproduksi dan menayangkan berita tersebut.

"Setelah dikoreksi beritanya di media dia bekerja, sudah. Di luar itu, memang belum jelas regulasinya, siapa yang bertanggungjawab," kata Heru Margianto.

Karena itu, perlu disusun regulasi yang jelas mengenai permasalahan spesifik ini. Heru menyebut beberapa contoh jatuhnya korban dari pihak obyek berita, akibat berita bermasalah yang tidak bisa dikoreksi di mesin pencari data Google.

Heru bertutur adanya kisah seorang pemuda yang dulunya berprofesi gigolo dan penjual VCD porno. Setelah tobat dan menjauh dari dunia itu, ia protes kisah-kisah lamanya itu masih 'tayang' secara 'abadi' di mesin pencari data Google.

Padahal di situs asal muasal berita itu sudah sejak lama dikoreksi.
"Nah, masalah seperti ini akan terus berulang dan belum jelas siapa yang bertanggungjawab," tutur Heru. Peneliti yang juga masih berkarir sebagai jurnalis di sebuah media online ini tentu tidak bermaksud menyalahkan Google, karena tidak dalam kapasitas memproduksi berita.

"Saya kira memang harus ada tata kelola, harus ada SOP (Standar Operating Procedure) mengenai problem ini," timpal Sammy Pangerapan, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia yang juga jadi pembicara dalam diskusi itu.

Sammy malah balik bertanya, kalau di situs video Youtube saja bisa dilaporkan kepada pengelola munculnya rekaman-rekaman bermasalah yang kemudian bisa dihapus oleh Youtube, mengapa hal yang sama sulit bagi Google?

"Seperti film 'Innocence of Muslims" itu kan dihapus oleh pengelola Youtube setelah dikomplain banyak orang," tuturnya.

Jurnalisme Dangkal dan Kelas Dua
Sementara Nezar Patria, Managing Editor Vivanews.co.id, menyebutkan, tuntutan kecepatan penyajian berita di media online harusnya tidak bisa dijadikan pembenaran terjadinya kesalahan fatal yang berujung komplain.

Sebab, tuntutan kecepatan sebenarnya juga terjadi di media TV dan radio. "Justru media online itu masih ada jeda produksi. Harusnya bisa lebih hati-hati. Sementara teman-teman di radio dan TV itu terkadang menyajikan berita tidak ada jedanya. Wawancara live, langsung ditayangkan. Risiko keliru juga tidak kalah besar," kata Nezar.

Yang dia sesalkan, tuntutan mengejar tingginya traffif pembaca akhirnya membuat berita-berita di media online dangkal. "Muncul citra bahwa jurnalisme online di Indonesia itu dangkal dan kelas dua," kata Nezar.
Aktifis gerakan reformasi '98 ini merujuk pada trend berita online di negara-negara benua Eropa dan Amerika yang tidak selalu beradu cepat sehingga mengorbankan akurasi dan kelengkapan berita.

"Contohnya Huffington Post, itu dulunya cuma blog, tapi karena dikelola menjadi media online yang akurasi datanya bagus, sekarang banyak jadi rujukan," ujarnya.


Tribunnews

0 comments:

Post a Comment

 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...